WahanaNews.co | Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari,
mengusulkan Pilkada Serentak selanjutnya digelar tahun 2026.
Ia juga mengusulkan memperpanjang masa
jabatan Kepala Daerah sampai pelaksanaan Pilkada
Serentak di tahun 2026.
Baca Juga:
Komisi II DPR RI Sepakat Stop Bahas RUU Pemilu
Jika masa jabatan Kepala Daerah yang mau habis bisa
diperpanjang, maka posisi kepemimpinan daerah tidak perlu lagi diisi Penjabat
atau Pelaksana tugas (Plt) untuk durasi waktu yang lama.
Hasyim mengusulkan demikian agar
terjadi penataan secara serentak desain Pemilu
Indonesia.
Usulan ini juga dinilai sebagai bentuk
win-win solution.
Baca Juga:
Golkar Batal Dukung Revisi UU Pemilu
"Dalam rangka penataan desain
keserentakan Pemilu, usulan saya Pemilu serentak daerah tahun 2026," kata Hasyim, dalam keterangannya, Sabtu (6/2/2021).
"Desain keserentakan pemilu
daerah serentak 2026 sebagai bentuk win-win solution, membuat happy dan nyaman
banyak pihak. Dengan perpanjangan masa jabatan sampai dengan 2026, serta tidak
perlu menyediakan Penjabat atau Plt kepala daerah untuk durasi waktu yang
panjang," ucapnya.
Sehingga, kepala daerah hasil Pilkada
2017, 2018 dan 2020 yang jabatannya habis 5 tahun berikutnya, masa jabatan
mereka bisa diperpanjang sampai dilantiknya kepala daerah hasil Pilkada
Serentak 2026.
Selain Pilkada Serentak, Hasyim juga
usul pemilu legislatif daerah juga digelar pada tahun 2026 atau tahun yang sama
seperti pemilihan kepala daerah.
Menurutnya Pilkada Serentak selama ini
belum bisa menata kelembagaan pemerintah daerah.
Mengingat masa jabatan setiap kepala
daerah beragam, dan periodisasi jabatannya juga berbeda dengan masa jabatan
anggota DPRD.
Padahal, kata
Hasyim, tujuan pemilu adalah membentuk relasi pemerintahan antara eksekutif dan
legislatif.
Sehingga,
semestinya pemilihan kepala daerah juga disamakan dengan pemilihan para
legislator DPRD.
"Desain pemilu daerah serentak
2026 juga dalam rangka penataan keserentakan masa jabatan 5 tahunan kepala
daerah dan anggota DPRD," jelas Hasyim.
Pentingnya UU Pemilu
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyoroti perubahan sikap partai politik (parpol) yang tidak
ingin pembahasan revisi UU Pemilu dilanjutkan.
Fadli merasa heran jika alasan
menghentikan pembahasan itu adalah kerangka hukum kepemiluan tidak perlu diubah
setiap menjelang penyelenggaraan pemilu.
Padahal, awalnya, revisi UU Pemilu itu merupakan inisiatif dari para politisi di
Parlemen.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi
virtual bertajuk Maju Mundur Revisi
Undang-Undang Pemilu, Minggu (7/2/2021).
"Jadi, menurut
saya, ini patut dipertanyakaan dan menjadi sangat aneh ketika baik
partai politik atau pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi
Undang-Undang Pemilu saat ini," kata Fadli.
"Apalagi menggunakam pendekatan
dan alasan kerangka kepemiluan tidak perlu untuk
diperbaharui dalam setiap satu kali dalam lima tahun atau setiap menjelang
penyelengaraan pemilu," imbuhnya.
Fadli mencoba menjelaskan latar
belakang revisi UU Pemilu menjadi inisiatif DPR.
Satu di antara alasan utama munculnya
gagasan memperbaiki kerangka hukum kepemiluan ternyata dengan desain pemilu
serentak 5 kotak seperti di pemilu 2019, ada banyak persoalan yang dihadapi
baik oleh penyelenggara, peserta pemilu termasuk pemilih.
Karena ada 3 aktor kunci dalam proses
pemilu itu menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Serta ada persoalan krusial yang
muncul mulai penyelenggara misalnya memamejemen pemilu 5 kotak yang sangat
berat bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Atas dasar kesadaran itu di awal
2020 muncul inisiatif menyusun kerangka hukum kepemiluan yang diinisiasi Komisi 2 DPR," ucapnya.
"Kesadaran terhadap adanya
persoalan pemilu serentak seperti tahun 2019 kemudian yang menjadi dasarr
pemikiran utama kenapa penting untuk memperbaharui kerangaka hukum kepemiluan
kita," pungkasnya.
Diketahui, saat ini DPR tengah
menggodok revisi UU Pemilu.
Dalam prosesnya, isu yang menguat
dalam revisi UU Pemilu yakni adanya pengaturan ulang (normalisasi) jadwal
Pilkada di 2022 dan 2023.
Selain itu, isu mengenai ambang batas
parlemen dan ambang batas pencalonan presiden juga masih menuai polemik. [qnt]