WahanaNews.co. Jakarta – Buntut penanganan kasus dugaan suap yang menjerat Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi, Wakil Presiden Ma'ruf Amin tidak keberatan jika Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer direvisi.
"Saya kira silakan terus berjalan [revisi UU Nomor 31] dan sesuai dengan aspirasi yang muncul. Dan, tentu undang-undang itu kan lebih baik merespons tuntutan yang terjadi," kata Ma'ruf di Samarinda lewat siaran pers, Jumat (4/8/2023) mengutip ANTARA.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Ma'ruf menilai penyempurnaan terhadap sebuah UU adalah hal yang biasa terjadi. Apalagi jika aturan itu sudah diterapkan sejak lama dan dalam perkembangannya ada kondisi tertentu untuk direvisi.
Dia mengatakan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang ingin membahas revisi UU Peradilan Militer sudah tepat.
Menurutnya, proses revisi tersebut perlu berlanjut, sebab ketentuan-ketentuan dalam UU memang harus mengakomodasi aspirasi masyarakat dan tuntutan zaman.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Saya kira tentang revisi undang-undang itu, revisi memang menjadi biasa lah. Dalam waktu sekian lama, biasanya setelah pelaksanaan, ada hal-hal yang dirasakan untuk direvisi," ujarnya.
Sejumlah pihak mendesak revisi UU tentang Peradilan Militer. Pasalnya, ketentuan UU ini dianggap membuat seorang anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana umum dapat lolos dari jerat hukum karena akan diadili di peradilan militer.
Usul ini mencuat ketika Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi terlibat kasus dugaan korupsi.
Henri terlebih dulu ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, setelah itu KPK didatangi Puspom TNI. Dilanjut dengan permohonan maaf pimpinan KPK.
Kini, kasus itu ditangani oleh peradilan militer. Henri ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan untuk kepentingan penyidikan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]