WahanaNews.co, Jakarta - Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan juga ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa penggunaan hak angket oleh DPR berpotensi membawa negara dalam kondisi ketidakpastian.
Yusril mengemukakan bahwa usulan penggunaan hak angket, yang saat ini diajukan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, berisiko menimbulkan kekacauan atau keadaan kacau.
Baca Juga:
Dugaan Pemalsuan Dokumen PBB, Yusril Diadukan ke Bareskrim
“Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir,” kata Yusril, melansir Kompas, Sabtu (24/2/2024).
Yusril berpendapat bahwa pihak yang mengalami kekalahan dalam Pemilihan Presiden seharusnya mencari penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan memanfaatkan hak angket DPR.
Menurutnya, hak angket DPR tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam pilpres.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
“Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya, tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, kata Yusril, salah satu kewenangan MK yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final dan mengikat.
Menurut dia, para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK.
Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan, sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
Yusril mengatakan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 akan menciptakan kepastian hukum.
“Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan,” kata Yusril.
“Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," jelas dia.
Mantan Menteri Sekretaris Negara itu juga menyinggung perihal wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo yang belum lama ini bergulir. Dia menduga, wacana penggunaan hak angket DPR merupakan upaya untuk memakzulkan Kepala Negara.
“Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril.
Yusril melanjutkan, wacana pemakzulan terhadap Presiden juga harus melalui persetujuan MK.
Jika MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. Dari situ, MPR akan memutuskan setuju atau tidak setuju.
“Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir,” kata Yustil.
“Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," tutur Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Adapun wacana penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu pertama kali diungkap oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ganjar mendorong kedua partai politik pendukungnya, PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), untuk menggunakan hak angket sebagai respons terhadap dugaan kecurangan yang menurutnya sudah terbuka.
Menurutnya, DPR tidak boleh tinggal diam mengenai dugaan pelanggaran yang telah terjadi.
"Dalam konteks ini, DPR memiliki kewenangan untuk memanggil pejabat negara yang memiliki pengetahuan terkait praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggungjawaban dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu," ungkap Ganjar dalam pernyataannya pada Senin (19/2/2024).
Menanggapi hal tersebut, calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan bahwa partai politik pendukungnya juga bersedia menggunakan hak angket.
Tiga partai yang mendukung Anies-Muhaimin, yaitu Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera, menyatakan kesiapannya untuk melibatkan hak angket.
"Kami telah bertemu dan membahas langkah-langkah, dan kami solid dalam pandangan ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan bahwa ketika inisiatif penggunaan hak angket dilakukan, ketiga partai ini bersedia bergabung," ucapnya, beberapa waktu lalu.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]