Pengalaman
pahit Malaysia kehilangan semua badak sumateranya pada 2019 telah ditulis
secara sangat detail dalam The Hairy Rhinoceros - Lessons for Management of the Last Asian
Megafauna (John Payne, dalam
penerbitan).
Penulisnya,
seorang ahli konservasi hidupan liar Malaysia, mendeskripsikan upaya konservasi
badak sumatera selama 40 tahun.
Baca Juga:
Indonesia Bidik Transaksi Karbon Rp16 Triliun di COP30 Brasil
Ternyata
selama ini pekerja konservasi lapangan sering terjebak dengan dugaan bahwa
badak sumatera masih bertahan di beberapa lokasi.
Asumsinya,
karena hutan terlalu lebat dan badak bersifat pemalu, badak sulit dilihat.
Namun, bukti
lapangan berkata sebaliknya.
Baca Juga:
Berlomba-lomba Buat Inovasi, MARTABAT Prabowo-Gibran Dukung Solusi ITS dengan Sistem Pelacakan Sampah Digital
Kamera jebak,
misalnya, membuktikan bahwa di beberapa lokasi, badak sumatera memang sudah
tidak ada lagi.
Di Suaka
Margasatwa Tabin, Sabah, upaya 18 bulan pemantauan dengan 100 kamera hingga 2
April 2014 tidak menghasilkan bukti keberadaan badak sama sekali (Payne, op
cit).
Gejala yang
tak kalah penting adalah penurunan populasi yang tidak disadari akibat
keterbatasan data.