Menjawab
pertanyaan tersebut, jika mau konsisten menerapkan pola yang ada pada perempuan
pengusaha dan perempuan
aktivis, supaya sejajar, gunakan perempuan pekerja dan laki-laki pekerja.
Namun, coba
ucapkan frasa perempuan pekerja dan laki-laki pekerja beberapa kali, akan tebersit
makna "perempuan/laki-laki yang suka bekerja"
atau "perempuan/laki-laki giat bekerja".
Baca Juga:
Bahasa Indonesia Diusulkan Jadi Bahasa Resmi untuk Konferensi UNESCO
Padahal,
makna yang ingin disampaikan adalah pekerja atau pegawai yang berjender
perempuan dan laki-laki.
Atas dasar
itulah, pola jender + nomina tidak cocok diterapkan pada frasa pekerja
perempuan dan pekerja
laki-laki karena menimbulkan makna yang berbeda dari yang ingin disampaikan.
Jadi, selain
ditentukan oleh kata yang membentuknya, makna frasa juga ditentukan oleh urutan
dari kata-kata yang membentuknya.
Baca Juga:
Begini Penjelasan Kemendikbud Ristek Soal Bahasa Indonesia Diusulkan Jadi Bahasa Internasional ke UNESCO
Untuk
mendukung pendapat itu, saya teringat tulisan André Möller berjudul "Teh Es dan
Es Teh" di rubrik Bahasa Kompas.
Ia
menjelaskan bahwa frasa teh es dan es teh masing-masing memiliki atau merujuk pada makna yang berbeda.
Es teh sekeluarga dengan es dawet, es cendol, dan seterusnya.