Hasil
rekaman stalagmit menunjukkan bahwa pada periode LGM perubahan muka laut
memberikan suplai uap air yang lebih banyak naik ke atmosfer dan menyebabkan
hujan lebih tinggi ketika muka air laut global naik berdasarkan studi stalagmit
di Flores.
Namun,
studi terkait perubahan iklim yang dihubungkan dengan perubahan muka laut pada
LGM memberikan hasil yang berbeda antara arsip terrestrial (sedimen danau dan
stalagmit) dan arsip sedimen laut.
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
Arsip
sedimen danau dan stalagmit di Flores, Sulawesi, dan Kalimantan menunjukkan
kondisi kering di wilayah Indonesia.
Hasil
tersebut dianggap mirip dengan model iklim pada LGM yang mana paparan Sunda
yang luas menyebabkan berkurangnya awan konveksi pembentuk hujan di wilayah
paparan Sunda akibat dari melemahnya sirkulasi Walker.
Namun,
hasil dari sedimen laut di Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Flores, dan
bagian barat Sumatera menunjukkan bahwa pada periode LGM curah hujan tinggi di
wilayah paparan Sunda karena menguatnya sirkulasi Walker.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Terdapatnya
perbedaan hasil dari rekaman arsip alam yang berasal dari darat (stalagmit,
sedimen danau) dan laut (sedimen laut) di wilayah Indonesia menunjukkan, masih
diperlukan penelitian dan pengkajian lebih banyak dan mendalam mengenai
paleoseanografi dan paleoklimatologi di wilayah Indonesia pada periode LGM,
sehingga sejarah perubahan iklim terkait perubahan muka laut dapat semakin
dipahami. (Marfasran Hendrizan, Peneliti Muda Kelompok Penelitian Iklim dan
Lingkungan Purba Geoteknologi LIPI, kandidat doktor sains Kebumian ITB)-dhn