WahanaNews.co |
Jakarta, kini, sudah berusia 494 tahun.
Jatuh bangunnya kota ini,
sebagai salah satu pusat perekonomian di Indonesia, senantiasa lekat dengan
dunia kriminal, termasuk para preman yang bergelut di dalamnya.
Baca Juga:
Pemesan Aksi Anggota GRIB Pencuri Aset KAI di Semarang Diburu Polisi
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mendefinisikan
kata preman sebagai sebutan kepada
orang jahat.
Preman disandingkan dengan
penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya.
Dengan kata lain, preman
merupakan sebutan untuk orang-orang yang memalak, penjahat kecil, hingga
berandalan.
Baca Juga:
Raup Rp 90 Juta dari Parkir Liar, Polisi Bongkar Sindikat Preman di Jakarta Utara
Para preman bisa ditemui di
berbagai wilayah di Nusantara, dengan bermacam-macam sebutan, seperti jago,
jawara, jagabaya, bajingan, gali, dan lainnya.
Biasanya, untuk menyambung
hidup, mereka akan bekerja sebagai satpam, tukang parkir, ataupun Pak Ogah.
Preman meminta bayaran atas
"jasa keamanan" kepada pedagang kaki lima, pemilik toko, sopir,
pemilik kendaraan, dan lainnya.
Peneliti Murdoch University,
Australia, Ian Douglas Wilson, dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde
Baru (2018), mengungkapkan, tindakan pengamanan yang dimaksud adalah
mengamankan dari ancaman berupa preman lain atau dirinya sendiri.
Menurut Ian, para jago ini
sudah ada sejak zaman pra-penjajahan.
Kebanyakan dari mereka memiliki
kemampuan fisik yang lebih, baik dengan ilmu bela diri pencak silat, serta
memiliki sejumlah kesaktian.
Dengan kemampuannya, para
jago biasa melakukan penyerangan, merampok, sekaligus melindungi kelompoknya
sendiri.
Saat Belanda datang, posisi
mereka tidak terganggu.
"Kedatangan dan
perluasan berangsur kuasa kolonial Belanda tidak mengganggu jago. Baru pada
abad ke-19, seiring dengan menguatnya pemerintahan yang terorganisir secara
birokratis, peran mereka bergeser," tulis Ian, mengutip Schulte.
Di Jakarta, para Jago bisa
bekerja sendiri-sendiri, bersama-sama, atau mengikuti majikannya.
Robert Cribb, peneliti
Australian National University di Canberra, dalam bukunya, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945- 1949 (2010), menyebut,
pada masa pendudukan Belanda, para juragan mengkoordinir buruh dan jago yang
memimpin kelompok perampok.
Dengan itu, para juragan
memiliki peran dalam politik lokal di Batavia.
Mereka menjadi bagian dunia
kriminal di Batavia, hingga kerap disewa para pedagang Arab atau China untuk menghancurkan
pesaingnya.
"Ini merupakan sebuah
jaringan yang berdiri di luar hirarki otoritas pemerintah," tulis Cribb.
Dalam konteks ini, menurut
Ian yang mengutip Ryter, istilah vrijman
pun muncul.
Bahasa Belanda yang kemudian
diserap menjadi "preman" ini dilekatkan untuk menggambarkan jenis
baru jago perkotaan, pengusaha bidang kekerasan yang tidak mengabdi pada VOC,
namun keberadaannya diizinkan di Hindia.
Sementara itu, menurut Cribb,
seiring waktu, para jago di Batavia terhubung dengan kelompok pergerakan nasional
yang sedang tumbuh.
Mereka membenci Belanda, dan
saling melengkapi satu sama lain.
Ikatan ini sempat renggang
pasca-kegagalan pemberontakan PKI terhadap kolonial Belanda di Batavia pada
1926.
Pada masa pendudukan Jepang,
hubungan kelompok ini kembali menguat.
Saat perang hampir berakhir,
terdapat basis aliansi revolusioner antara dunia hitam Jakarta dengan sayap
kiri gerakan nasionalis Indonesia.
"Para bandit memiliki
basis organisasi yang dapat dimanfaatkan kaum nasionalis untuk pengerahan
massa," tulis Cribb.
Jago Jakarta Pasca-Kemerdekaan
Meski telah memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan besar
menyatukan para jago dan laskar pejuang kemerdekaan.
Menurut Ian, beberapa dari
mereka menjadi bagian tentara nasional.
Beberapa yang lain, pulang ke
kampung atau membentuk organisasinya sendiri.
Salah satunya, Imam Sjafe"i
atau Bang Pi"i, mantan bos penjahat di Pasar Senen.
Bang Pi"i merupakan salah
satu sosok jago yang terkena imbas Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) yang
merampingkan anggota militer.
Ia lantas membentuk geng
Korps Bambu Runcing (Kobra) pada 1949, organisasi masyarakat semi-militer
pertama pasca-kemerdekaan.
"Kobra kala itu direstui
Komando Militer untuk membantu pengamanan di Jakarta," tutur Achmad Yaya,
putra Mat Bendot, dalam wawancaranya dengan wartawan, pertengahan Juni 2016.
Saat itu, Kepala Staf
angkatan Darat (KSAD), Jenderal Nasution, melihat potensi para jago.
Ia lantas menyerap mereka,
dan membentuk kutub kerjasama baru yang menjahit militer, para jago, bekas
laskar, pemuda, hingga dunia kriminal.
Setelah Sukarno mencopot
Nasution dari jabatannya, jenderal itu melanjutkan membentuk Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), sebuah partai yang menjadi kendaraan politiknya.
IPKI berisi orang militer,
bekas laskar, dan jaringan jago. Dengan kekuatan ini, Nasution berhasil menekan
Sukarno.
Puncaknya, Sukarno
membubarkan konstituante dan memulai masa Demokrasi Terpimpin.
"Di mana perwakilan-perwakilan,
terutama dari kalangan militer dan sekutunya, ditunjuk menjadi anggota parlemen
tanpa melalui pemilihan umum," tulis Ian.
Jakarta di Bawah Rezim Preman Orba
Pada masa Orde Baru, preman
semakin terlembagakan dan menjadi tangan panjang negara.
Preman mengutip uang dan
keuntungannya turut mengalir ke kantong lembaga formal negara.
Di Jakarta, Ian menyebut
kelompok preman juga menjadi tangan panjang yang menjaga stabilitas kekuasaan.
Geng Hercules yang sempat
menguasai kawasan Tanah Abang, misalnya, dikontrak secara reguler oleh
pemerintah untuk merundung dan melawan kelompok pendukung kemerdekaan Timor
Timur di Jakarta, Kedutaan Amerika, dan Australia.
Selain itu, preman juga
digerakkan untuk menyerang rumah yang ditinggali Partai Rakyat Demokratik (PRD)
dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Preman-preman beroperasi
sembari mengumbar omong kosong tentang ideologi negara dan membuat perkumpulan
nasionalisme.
Pada masa ini, preman
dikendalikan sebegitu rupa.
Nasib mereka sangat
bergantung pada sosok dari pemerintah yang menjadi beking.
Preman yang tidak memiliki
beking akan rentan dijerat hukum.
Soeharto juga membuat operasi
Penembakan Misterius (Petrus) dengan target preman, yang disebut-sebut
membantai lebih dari 10.000 orang.
Operasi ini berfungsi
mengajari mereka, para preman, bahwa meskipun menjadi penguasa lokal, mereka
sangat bergantung pada beking negara dan Soeharto.
Preman-preman lantas
berbondong-bondong bergabung dengan Pemuda Pancasila (PP) dan Pemuda Panca
Marga (PPM).
"Kunci bertahan hidup
preman adalah berorganisasi dan pernyataan kesetiaan penuh kepada Golkar,
militer, dan presiden," tulis Ian.
Ujung masa kekuasaan Soeharto
ditandai dengan melemahnya soliditas kekuatan rezim.
Hal ini juga terjadi, baik di
kalangan elite maupun jalanan.
Akibatnya, perkelahian antar-geng
preman terjadi di banyak tempat, terutama di kawasan Tanah Abang.
Evolusi Preman Jakarta Era Reformasi
Ketiadaan kendali penuh atas
preman dan aturan harus loyal kepada ideologi negara sebagaimana masa Soeharto,
membuat organisasi preman baru bermunculan.
Jika sebelumnya ormas-ormas
menggunakan label legitimasi Pancasila dan nasionalisme dalam melakukan operasi
jatah premannya, pasca-reformasi organisasi preman membawa legitimasi
lokalitas, etnis, hingga agama.
"Pemuda Pancasila yang
mendominasi sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, kini berada dalam persaingan
langsung dengan formasi-formasi baru yang secara perlahan mulai merangkak lain
di jalanan Jakarta," tulis Ian.
FBR jadi salah satu yang
bersaing memperebutkan pengaruh di Jakarta pasca-Orde Baru.
Organisasi ini secara cepat
menjadi yang terbesar di Jakarta.
Lewat sambungan telepon, Ian
mengatakan, premanisme di Jakarta menarik karena kerap berkaitan dengan politik
Ibu Kota.
Politik di kawasan pusat
pemerintahan ini, kata Ian, berpengaruh secara nasional.
"Bagi saya menarik
kelompok seperti itu berkembang dari asal usul, emang jagoan di jalan tapi
menjadi macem gerakan sosial yang tidak bisa disamakan dengan premanisme saja,"
ujar Ian kepada wartawan.
Menurut Ian, organisasi
preman yang bermunculan di Jakarta juga lambat laun berkembang menjadi gerakan
sosial, seperti FBR, ataupun gerakan keagamaan seperti FPI, yang belakangan
dibubarkan pemerintah.
Dengan perubahan wajah
tersebut, organisasi itu tak lagi sepenuhnya dapat dikatakan organisasi preman.
Namun juga tak bisa
dilepaskan dari sebutan organisasi preman, karena praktik-praktiknya yang masih
menggunakan cara kekerasan.
Ian berkesempatan melakukan
wawancara dengan mantan Ketua FBR, (alm) Fadloli el Muhir.
Wawancaranya dengan pentolann
FBR itu sedikit banyak berhasil memotret perubahan wajah premanisme di Jakarta.
Temuan Ian, berdirinya FBR
lahir dari pengamatan kritis terhadap perkembangan ekonomi dan politik warga
Betawi.
Organisasi ini berusaha
merepresentasikan diri sebagai wadah bagi kelompok yang tersisih.
Pembangunan Orde Baru,
menurut FBR, tidak menguntungkan orang Betawi.
Bahkan, kelompok ini
tersingkir di tanah mereka sendiri.
"FBR mengklaim bahwa
mereka merupakan korban tersia-sia dari apa yang disebut oleh pendiri kelompok
itu sebagai "preman berdasi", yakni mereka yang "memakai dasi, preman
berseragam, mereka yang ada di eksekutif dan legislatif, di kepolisian dan
ketentaraan"," tulis Ian dalam bukunya.
Orde Baru sudah jatuh. Usia
Jakarta pun hampir menginjak 5 abad.
Namun, premanisme di ibu kota
tak kunjung surut.
Dengan wajah meminjam gerakan
sosial, toh polanya relatif tak
berbeda jauh dengan apa yang pernah terjadi pada masa kemerdekaan, yakni para
preman atau orang-orang yang mengkoordinir mereka menawarkan jasa kekerasan.
FBR, yang berdiri berdasarkan
pengamatan kritis, misalnya, pada akhirnya menjalin persekutuan dengan elite
dan partai politik, agar pengaruh mereka semakin kuat.
Dalam beberapa kasus, agar
mendapatkan posisi struktural dalam pemerintah.
Mereka juga tercatat pernah
menyerang Urban Poor Consortium (UPC),
kelompok advokasi pro kaum miskin kota, saat melakukan demonstrasi mengkritik
kebijakan ruang publik di Balai Kota DKI.
Baik laki-laki, perempuan,
anak-anak, dihajar. Bahkan, Wardah, Ketua UPC, diancam golok di lehernya.
Yang terbaru, dalam
penggusuran kawasan Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan, beberapa waktu
lalu.
Warga yang telah tinggal di
tempat itu selama puluhan tahun atas seizin pemilik lahan, diserang oleh ormas
Pemuda Pancasila pada Maret lalu.
Dalam serangan itu, tidak
sedikit warga setempat mengalami luka akibat lemparan benda tumpul dan senjata
rakitan.
Padahal, tanah tersebut dalam
proses sengketa antara ahli waris pemilik lahan, Sanjoto, dengan anak
perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Pertamina. [dhn]