WahanaNews.co | Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai kasus korban begal yang menjadi tersangka di Nusa Tenggara Barat merupakan tanggung jawab pembina fungsi reserse.
Korban tersebut adalah Murtede alias Amaq Sinta (AS) yang ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh dua dari empat begal yang menghadangnya.
Baca Juga:
Kejati DKI Jakarta Tunjuk Enam Jaksa Teliti Kasus Pemerasan SYL-Firli Bahuri
Poengky menjelaskan kasus di daerah Lombok Tengah ini berawal dari diterimanya oleh penyidik karena terkait dengan kematian dua orang yang ditemukan masyarakat. Dan di tepat kejadian perkara (TKP) ditemukan adanya barang bukti berupa kendaraan bermotor roda dua.
"Kemudian keluarga dari korban meninggal mengatakan anaknya pergi bersama beberapa orang. Kemudian dicari orang-orang itu dan disampaikan bahwa yang meninggal ini dibegal oleh si pemilik motor, sehingga AS dijadikan tersangka," ujar dia dalam acara diskusi virtual dengan tema 'Ketika Korban Menjadi Tersangka' pada Ahad, 17 April 2022.
Poengky melanjutkan, ketika diinterogasi baru diketahui ternyata AS-lah yang menjadi korban begal. Menurutnya, seharusnya AS melapor bahwa dia menjadi korban begal, sehingga pembelaan terpaksa bisa dimasukkan. Namun, di sini hanya ada satu laporan, dari AS belum ada.
Baca Juga:
Dikritik Mahfud MD Soal Penetapan Tersangka di KPK, Nawawi Pomolango Angkat Suara
"Kemudian diambil alih oleh Polda NTB yang akhirnya ada laporannya, dan ini menjadi tanggung jawab pembina fungsi reserse," katanya.
Kasus di NTB itu, Poengky berujar, adalah salah satu contoh. Di Kompolnas, Poengky berujar, setiap tahun menerima pengaduan di atas 3.000-an laporan. Pada 2021 saja ada sekitar 4.200-an laporan, dan tahun ini Januari-April sudah ada 1.400 laporan, itu baru empat bulan saja.
Poengky melihat dari ribuan laporan itu paling banyak mengeluhkan fungsi reserse, ada 90 persenan rata-rata yang dikeluhkan masyarakat adalah pelayanan buruk. Misalnya, dia mencontohkan, ketika masyarakat melapor kasusnya tidak segera ditindaklanjuti dengan sidik dan lidik, serta SP2HP tidak diberikan sehingga progres tidak diketahui masyarakat.
"Ada juga kasus pelaku lari, ini juga kasusnya terkatung-katung dan sering dilaporkan. Sebetulnya yang paling banyak harus berbenah adalah fungsi reserse," tutur Poengky.
Untuk kasus AS, Kepala Polda Nusa Tenggara Barat Inspektur Jenderal Djoko Poerwanto menyatakan bahwa polisi telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dia menjelaskan bahwa penyetopan proses hukum AS tersebut setelah dilakukannya gelar perkara yang dihadiri oleh jajaran Polda dan pakar hukum.
"Hasil gelar perkara disimpulkan peristiwa itu merupakan perbuatan pembelaan terpaksa sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formal dan materiil," ujar Djoko dalam keterangan tertulis, Sabtu, 16 April 2022.
Menurut Djoko keputusan dari gelar perkara tersebut berdasarkan peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, Pasal 30 tentang penyidikan tindak pidana bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
"Peristiwa yang dilakukan oleh AS merupakan untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa," kata Djoko ihwal korban begal.[rin]