Herdi menekankan bahwa dampak larangan itu tidak hanya dirasakan pengusaha bus wisata, tetapi juga menjalar hingga ke pelaku UMKM dan ekosistem usaha kecil lain yang selama ini bergantung pada aktivitas wisata pelajar.
Menurutnya, pihaknya telah mencoba menjalin komunikasi dengan pemerintah provinsi. Namun upaya tersebut tak pernah mendapat tanggapan.
Baca Juga:
DPR Desak Evaluasi Tambang Nikel di Raja Ampat: Pariwisata Bisa Hilang
"Akhirnya jalan unjuk rasa ini dipilih untuk menyampaikan aspirasinya," kata Herdi.
Ia menyayangkan bahwa kebijakan dikeluarkan tanpa solusi konkret yang dapat menjaga keberlangsungan hidup para pengusaha dan pekerja.
"Pelarangan ini, kebijakan ini dikeluarkan tanpa ada solusi penyelamat, baik bagi para pengusahanya maupun juga para pekerjanya," ucapnya.
Baca Juga:
Danau Toba Siap Geliat: Dua Event Internasional Tingkatkan Ekonomi Sumut
Herdi bahkan membandingkan situasi saat ini dengan masa pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi selama pandemi masih lebih baik daripada situasi sekarang.
Ia mengaku hingga saat ini memang belum ada perusahaan bus wisata yang bangkrut. Namun gejala krisis sudah tampak, terutama pada sektor tenaga kerja.
"Pengusaha saya beberapa kali minta tolong jangan ada PHK dulu untuk sektor yang tiga elemen (perusahaan bis, UMKM, pekerja). Tapi yang lay off atau dirumahkan itu dimulai. Itu karena tidak ada pesanan," katanya.