Melihat permasalahan ini, LPA Jatim pun meminta ada langkah tegas menyikapi perbuatan EN. Pertama sekolah atau pihak yang berwenang dalam hal ini ialah Dinas Pendidikan Lamongan, harus memberi persamaan persepsi tentang aturan pasti penggunaan jilbab.
Hal itu agar di kemudian hari tak terjadi lagi perbedaan pandangan tentang cara berseragam termasuk menggunakan jilbab. Selain itu, supaya peristiwa serupa tak terulang lagi.
Baca Juga:
Otak Pelaku Pemerkosaan Siswi SMP Hingga Tewas di Palembang Sempat Ikut Yasinan Korban
"Standar seragam itu juga harus ditentukan seperti apa, sehingga kemudian tidak terjadi salah dalam menentukan," tuturnya.
Kedua, LPA Jatim juga meminta EN tak cuma disanksi. Ia juga wajib membayar restitusi kepada siswi yang jadi korban. Sebab perbuatannya itu sudah menyebabkan kerugian materiel dan immateriel.
"Sanksi harus ditegakkan tapi juga perlu ditambah dengan restitusi ganti rugi. Karena rambutnya dipotong, tentu ada semacam beban psikologis, malu dan sebagainya, dan itu bisa cukup lama menunggu sampai rambutmya tumbuh kembali," katanya.
Baca Juga:
Siswi Berprestasi Asal Deli Serdang Akan Hadiri Puncak Peringatan HAN di Papua
"Menurut saya perlu sebagai efek jera kepada siapapun hal-hal seperti itu juga diikuti tidak hanya dengan sanksi, tapi perlu juga restitusi untuk pemulihan mental dan perawatan hingga rambut tumbuh seperti semula," pungkas Isa.
Sementara itu, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Holy Ichda Wahyuni mengatakan, mendidik dengan kekerasan bukan solusi dalam penanaman pendidikan karakter.
Menurutnya, tokoh bangsa Ki Hajar Dewantara telah menanamkan konsep pendidikan humanis, harapannya agar upaya guru mencerdaskan anak bangsa, membangun keterampilan dan karakter dilakukan dengan cara yang memanusiakan manusia.