Kepala babi tanpa telinga dapat dimaknai sebagai peringatan bagi jurnalis untuk tidak mendengar atau menyebarkan informasi yang dianggap merugikan pihak tertentu.
Dalam pesan ini, pelaku teror ingin menunjukkan kekuasaannya atas informasi dan menanamkan ketakutan pada targetnya.
Baca Juga:
Pergerakan Advokat Kutuk Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo
Ironisnya, justru teror semacam ini membuktikan bahwa pelaku merasa terancam oleh keberanian para jurnalis yang bekerja untuk mengungkap kebenaran.
Fenomena Kekerasan terhadap Jurnalis
Kasus Tempo bukanlah satu-satunya dalam catatan kelam kebebasan pers di Indonesia. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyebut bahwa pada 2025 saja sudah terjadi 22 kasus teror dan intimidasi terhadap jurnalis, termasuk kasus di Tempo.
Baca Juga:
Istana: Insiden Tempo Jangan Dibesarkan Agar Tak Puaskan Peneror
Tahun sebelumnya, AJI mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tetapi hanya satu yang mendapatkan keputusan inkrah, itu pun sebagai tindak pidana ringan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa laporan terhadap aparat sering kali tidak berujung pada penyelesaian yang memadai.
Ketidakseriusan dalam menangani kasus semacam ini menciptakan preseden buruk: para pelaku semakin berani melakukan teror karena merasa kebal hukum, sementara para jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik justru dipaksa menghadapi risiko besar tanpa perlindungan yang memadai.