WahanaNews.co | Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) tak hanya melabeli satu jenis kemasan plastik, tapi juga memberlakukan pada semua. Sebab, semua kemasan plastik mengandung zat-zat kimia berbahaya.
"Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Ada Senyawa Lain, Peneliti: Pelabelan BPA Free Lebih Membahayakan Konsumen
Khusus air minum dalam kemasan (AMDK), kata Rizal, ada dua jenis plastik yang digunakan, yaitu Polikarbonat (PC) dan Polietilena tereftalat (PET).
Kemasan PC atau galon guna ulang biasanya dipakai untuk ketahanan waktu lama. Lebih keras dan biasanya dicampur dengan Bisfenol A (BPA). Sedang untuk kemasan PET atau sekali pakai, biasa dicampur dengan antimon.
"Yang namanya plastik itu, ketika dicampur dengan zat kimia semua punya risiko. Makanya ada aturannya berapa yang boleh dan berapa yang tidak. Jadi, kalau ditanya mana yang lebih aman, ya dua-duanya sama-sama berisiko. Kalau mau aman ya tidak usah menggunakan plastik, pakai saja gelas atau botol kaca," katanya.
Baca Juga:
Pakar: Label BPA Penting untuk Jamin Kesehatan Konsumen
Khusus untuk plastik PET, kata Rizal, para aktivis lingkungan juga menolak kehadiran kemasan ini yang terkait dengan isu lingkungan.
"Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu lingkungan juga kalau kita hanya memakai yang sekali pakai itu. Aktivis ngkungan akan bereaksi karena akan terjadi penimbunan sampah yang lebih banyak," tuturnya.
Menurut Rizal, yang penting dari penggunaan kemasan plastik adalah pengawasannya, sejak diambil dari sumber mata air harus higienis.
Juga harus diawasi apakah sudah memenuhi syarat atau tidak, cara pengambilannya, pengangkutannya sampai ke tempat pelaku usaha, penyimpanannya, di toko-toko.
"Nah, itu yang harus diawasi sambil diberitahukan ke masyarakat tidak boleh menyimpan AMDK itu terlalu lama, karena bisa berinteraksi dengan atmosfir di sekitarnya. Para penjualnya juga harus diingatkan tidak boleh meletakannya di bawah sinar matahari langsung," ucapnya.
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta tidak ada diskriminasi usaha AMDK, khususnya terkait senyawa BPA. Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyampaikan pemerintah harus mengedepankan unsur keadilan dan jangan ada diskriminasi.
"Dalam usaha harus mengedepankan unsur fair, tidak ada unsur diskriminasi. Semua pelaku usaha, produk, harus diberikan kesempatan yang sama untuk bersaing," ujar Heri.
Pakar teknologi pangan Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dedi Fardiaz juga melontarkan hal senada. Dia meminta BPOM jangan sampai bersifat diskriminatif dalam membuat kebijakannya.
Sebelum aturan dikeluarkan, BPOM seharusnya melakukan kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) yang mengakomodasi semua stakeholder, termasuk di dalamnya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial yang disebabkan.
Dedi mengatakan, sebetulnya tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Peraturan itu jelas-jelas menyebutkan label bebas dari zat kontak pangan itu tidak hanya berlaku untuk kemasan berbahan PC yang mengandung BPA, tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan juga melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi memunculkan diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
"Sebabnya 99,9% industri ini menggunakan galon tersebut, hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai," katanya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin bahkan menegaskan bahwa air kemasan galon guna ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil.
Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang yang dihembuskan pihak-pihak tertentu adalah hoaks.
"(air kemasan galon guna ulang) Aman. Itu (isu bahaya air kemasan galon guna ulang) hoaks," katanya.
Dunia kedokteran dan pakar kimia memberikan pendapatnya terkait BPA yang terdapat dalam galon guna ulang. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, belum ada bukti air galon guna ulang menyebabkan penyakit kanker. Menurutnya, 90%-95% kanker berasal dari lingkungan atau environment.
"Kebanyakan karena paparan-paparan gaya hidup seperti kurang olahraga dan makan makanan yang salah, merokok, dan lain sebagainya. Jadi belum ada penelitian air galon itu menyebabkan kanker," ujarnya.
Alamsyah Aziz, dokter spesialis kandungan yang juga Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mengatakan, sampai saat ini dirinya tidak pernah menemukan adanya gangguan terhadap janin karena ibunya meminum air galon.
Karenanya, dia meminta para ibu hamil agar tidak khawatir menggunakan kemasan AMDK galon guna ulang ini, karena aman sekali dan tidak berbahaya terhadap ibu maupun pada janinnya.
Pakar polimer dari ITB Ahmad Zainal juga menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam galon guna ulang berbahan PC yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini. Sebagai pakar polimer, dia melihat PC itu merupakan bahan plastik yang aman.
Ahmad Zainal mengatakan, antara BPA dan PC itu dua hal yang berbeda. Banyak orang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik Polikarbonat dan BPA sebagai prekursor pembuatnya.
Menurutnya, beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu Polikarbonatnya yang aman jika digunakan untuk kemasan pangan.
Menurutnya, BPA itu memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC. Dia mengibaratkan, seperti garam NaCl (Natrium Chlorida), di mana masyarakat bukan mau menggunakan Klor yang menjadi bahan pembentuk garam itu, tapi yang digunakan adalah NaCl yang tidak berbahaya jika dikonsumsi.
"Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan," kata Zainal.
Dia berharap berita-berita yang terkait BPA galon guna ulang harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.
"Jadi, harus dengan data ilmiah, sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri," ujarnya. [qnt]