WahanaNews.co | Tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) di Amerika Serikat berdampak pada pelaku usaha di Indonesia.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat pelaku usaha di dalam negeri sudah mulai menerima efek domino karena pasar ekspor beranjak lesu.
Baca Juga:
Realisasi Investasi di Nagan Raya Aceh Tahun 2023 Naik Rp3,7 Triliun
"Banyak pelaku usaha (ekspor) mulai terdampak dan bersiap mengurangi kapasitas produksi serta pembelian bahan baku," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 24 Juli 2022.
Harga BBM di Amerika melejit seiring dengan ledakan inflasi di negara tersebut. Di Arizona, misalnya, harga BBM meningkat dua kali lipat dari semula di bawah US$ 3 per galon menjadi US$ 5-6 per galon.
Bhima menjelaskan inflasi yang terlalu tinggi dan persisten di Amerika berpotensi mempengaruhi kebijakan negara-negara maju untuk menaikkan suku bunga. Di Amerika pun, The Fed membuka peluang menaikkan tingkat suku bunga acuan sampai 75 basis poin.
Baca Juga:
Polresta Bandung Ringkus Pelaku Penyalahgunaan BBM Subsidi Jenis Solar di Bojongsoang
Situasi ini diperkirakan bakal memicu eksodus modal asing dan melemahkan kurs rupiah. Pasar ekspor ke Amerika juga menjadi kurang menarik, meski porsinya hanya 13 persen dari total ekspor Indonesia.
Adapun menurut Bima, krisis di Amerika terjadi karena harga crude oil mengalami kenaikan yang signifikan akibat perang di Ukraina.
Beberapa kontrak pembelian minyak mentah dari Rusia terpaksa diputus pada waktu yang sama. Sementara itu banyak pelaku industri BBM di Amerika tidak siap dengan situasi geopolitik ini sehingga pasokan berkurang.
Pemicu lainnya, sanksi dari barat turut berdampak terhadap pengetatan suplai di Amerika Serikat. Dari sisi produksi, kata Bhima, kapasitas kilang telah menurun dibandingkan dengan pra pandemi.
Padahal permintaan BBM mulai naik karena dibukanya sekolah dan pusat perbelanjaan.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen menilai laju inflasi di negaranya sudah sangat tinggi. Menurutnya, inflasi Amerika pada Juni lalu yang mencapai level 9,1 persen itu sangat mengkhawatirkan.
Bank sentral Amerika atau The Fed pun mengumunkan kemungkinan menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin pada akhir Juli 2022.
Situasi itu, kata Yellen, mendesak pemerintah Amerika Serikat saat ini untuk segara meredam lonjakan inflasi.
Ia mendukung penuh upaya The Fed mengambil kebijakan yang dirasa perlu untuk menahan laju kenaikan harga barang dan jasa.
Mantan Gubernur The Fed itu juga mengungkapkan bakal mengambil langkah strategis, terutama soal penurunan harga energi dan cadangan minyak strategis.
Musababnya, hampir setengah dari kenaikan harga dalam angka inflasi terbaru yang dirilis tersebut berasal dari biaya energi yang tinggi. [rin]