Melalui program tersebut, terlihat bahwa banyak aset warga negara Indonesia yang tersimpan di luar negeri. Khususnya Singapura, Hongkong, Swiss, dan negara lainnya.
"Itu sebanyak sekitar 20% tidak terdeteksi oleh otoritas pajak. Nah, ini yang menjadi tantangan bagi Indonesia bagaimana mendeteksi aset-aset dari subjek pajak dalam negeri Indonesia yang ditempatkan di offshore tax evasion," ujarnya.
Baca Juga:
Kajati Sumut dan Bobby Nasution Saksikan Penutupan Diskotik Marcopolo
Titik kebocoran ketiga adalah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yakni perusahaan multinasional memindahkan laba ke negara-negara dengan tarif pajak rendah melalui tiga skeman. Yakni transfer pricing, treaty shopping, dan skema team cap.
Menurutnya, pemerintah dapat kehilangan potensi Rp 23-28,6 triliun dari Pajak Penghasilan (PPh) melalui skema tersebut.
Di tengah kompetisi global, Indonesia turut memberikan berbagai insentif pajak untuk menarik investasi. Hal ini masuk dalam kategori tax expenditure atau belanja perpajakan. Namun Darussalam menilai perlu kehati-hatian dalam pemberiannya agar tidak terjadi kebocoran.
Baca Juga:
OJK Kenalkan Istilah "Pindar" Untuk Bedakan Pinjol Ilegal ke Konsumen
Menurutnya belanja perpajakan perlu kembali ditinjau agar sesuai target. "Ke depan ini kita lebih hati-hati, lebih tepat sasaran apakah memang jumlah yang diproyeksikan di tahun 2025 ini misalnya sebesar Rp 530 triliun itu memang benar-benar yang kita berikan atau masih memungkinkan nggak kita pilih-pilih lagi yang benar-benar yang bisa kita berikan sebagai insentif pajak. Jangan-jangan angkanya bisa kita tekan ya," ujarnya.
Titik kebocoran kelima adalah pajak terutang yang tidak dilaporkan dan tidak dibayar oleh wajib pajak. Menurutnya, hal ini mencerminkan lemahnya sistem penagihan dan kepatuhan pajak.
Kebocoran ini dapat berdampak kepada pendapatan negara yang sangat bergantung kepada perpajakan.