Pembangkit batubara berkisar 20-60 persen, pembangkit gas 40-55 persen, solar PV tidak lebih dari 21 persen, dan pembangkit tenaga listrik dari angin 25-42 persen.
Selain andal menghasilkan pasokan listrik yang besar, nuklir juga termasuk sumber pembangkitan rendah emisi.
Baca Juga:
Komisi VII DPR Dukung Langkah PLN Kembangkan Super Grid, Smart Grid dan Smart Control Center
Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2011 melaporkan bahwa berdasarkan pengujian International Atomic Energi Agency (IAEA), emisi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hanya 9-21 gram CO2/kWH.
Berbeda jauh dengan pembangkit yang menggunakan energi fosil seperti batubara, minyak bumi atau solar, dan gas alam yang menghasilkan GRK per kWh listrik 974 gr CO2, 962 mg SO2, dan 700 mg NOX.
Perbedaan output emisi itu menyebabkan PLTN di seluruh dunia mampu mereduksi CO2 setidaknya mencapai 2 gigaton setahun.
Baca Juga:
Irjen Sumadi Bawa Pulang Piala Bergilir Turnamen Golf Gatrik IKAPELEB ESDM 2023
Oleh karena itu, menurut IEA, pada masa transisi menuju net zero emission pada 2050, pembangkit rendah karbon seperti PLTA dan PLTN sangat dibutuhkan untuk menopang keberhasilan target reduksi emisi itu.
Kedua jenis pembangkit ini memiliki stabilitas sistem kelistrikan sangat baik sebagai base load yang belum dapat tersaingi oleh pembangkit EBT jenis lainnya.
Keunggulan dalam segi optimalisasi daya mampu dan reduksi emisi yang besar dari PLTN tersebut membuat sejumlah negara di dunia tetap mengembangkan nuklir sebagai komplementer suplai energi listriknya.