WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang protes besar di depan Gedung DPR RI pada Senin (25/8/2025) memantik sorotan tajam publik terhadap tunjangan fantastis anggota dewan, khususnya tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan yang dinilai bertolak belakang dengan kondisi ekonomi rakyat.
Tuntutan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat itu mengarah pada transparansi anggaran, pembatalan tunjangan rumah, hingga desakan pembubaran DPR sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
Baca Juga:
Menyikapi Kisruh di Beberapa Wilayah, Ini Pernyataan Lengkap Presiden Prabowo
Sorotan publik membuat mekanisme penetapan serta potensi penghentian tunjangan DPR menjadi perhatian utama, apalagi Presiden Prabowo Subianto bersama partai politik ikut merespons dengan menyetujui pengurangan sejumlah fasilitas dewan demi meredakan ketegangan.
Secara aturan, gaji dan tunjangan anggota DPR tidak diputuskan sepihak, melainkan diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang ditandatangani Presiden.
Dasar hukum gaji pokok anggota DPR, misalnya, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, sementara komponen tunjangan dijabarkan melalui Surat Edaran Setjen DPR RI dan Surat Menteri Keuangan, yang sah secara administratif.
Baca Juga:
Langkah Tegas: DPR Tanpa Tunjangan dan Moratorium Perjalanan Luar Negeri
Namun, dinamika politik dan tekanan publik kerap memengaruhi kebijakan, sehingga penyesuaian atau bahkan penghentian tunjangan tertentu dapat terjadi sewaktu-waktu.
Saat ini anggota DPR menikmati gaji pokok sekitar Rp 4,2 juta bagi anggota biasa dengan nominal lebih besar untuk pimpinan, ditambah berbagai tunjangan seperti jabatan, kehormatan, komunikasi intensif, uang sidang, asisten, representasi, keluarga, beras, transportasi, hingga kompensasi tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan bagi periode 2024-2029 menggantikan rumah dinas yang dikembalikan ke negara.
Dengan seluruh komponen tersebut, take-home pay anggota DPR bisa menembus Rp 80 hingga Rp 100 juta per bulan, sehingga memicu kecaman publik yang menuntut kesesuaian antara kebijakan keuangan negara dengan rasa keadilan masyarakat.