WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana pemerintah mengembangkan hunian vertikal berskema subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kembali menjadi sorotan.
Sejumlah pengembang menilai inisiatif ini bisa menjadi jalan keluar dari dua persoalan sekaligus yakni kebutuhan masyarakat terhadap hunian terjangkau serta melimpahnya stok apartemen yang belum terserap pasar.
Baca Juga:
Pemerintah Bangun Rusun Modern bagi ASN Kejati Yogyakarta, Jadi Wujud Dukungan bagi APH
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto menilai proses menuju realisasi disebut tidak sederhana, terutama karena menyangkut struktur harga yang berbeda dari desain awal proyek. Padahal pengembang sebenarnya memiliki stok yang berpotensi dialihkan untuk program MBR, tetapi penyelesaiannya membutuhkan koordinasi lintas pemangku kepentingan.
Menurutnya, pasar dan suplai sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana pemerintah dan pengembang menyamakan langkah agar program ini benar-benar berjalan. Joko menjelaskan bahwa situasi ini bisa menjadi momentum untuk mengoptimalkan unit yang selama ini tidak terserap.
"Pengembang banyak punya stok yang belum terjual. Ini meeting point-nya kan di sana, bahwa ada kebutuhan yang bisa didorong untuk MBR, kemudian banyak pengembang yang punya stok," kata Joko melansir CNBC Indonesia, Selasa (25/11/2025).
Baca Juga:
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah, Bogor Diproyeksikan Jadi Daerah Percontohan Perumahan Rakyat
Meski begitu, ada masalah utama yang belum menemukan titik temu, yaitu struktur harga per meter persegi. Banyak proyek apartemen high-rise yang saat ini belum berjalan merupakan produk lama yang tidak dirancang untuk skema subsidi. Karena itu, diperlukan kalkulasi ulang agar harga lebih cocok untuk daya beli masyarakat berpenghasilan rendah tanpa membuat pengembang merugi.
"Yang belum ada titik temu adalah nilainya per meternya. Nah, stok high-rise yang belum berjalan ini kan dulunya tidak didesain untuk MBR, sehingga perlu penyesuaian di situlah," ujarnya.
Perdebatan mengenai harga ideal terus berkembang di antara para pemangku kepentingan. Ada yang menilai angka wajar berada di kisaran Rp6 juta per meter persegi, sementara lainnya menyebut Rp8 juta sebagai batas yang lebih realistis.