WAHANANEWS.CO, Jakarta – Usulan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi dalam perubahan keempat RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dikritisi PP Muhammadiyah.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) RUU Minerba di Baleg DPR Rabu (22/1), perwakilan Muhammadiyah, Syahrial Suwandi mengatakan tak semua kampus memiliki program studi pertambangan atau ilmu geologi. Menurut dia, aturan itu perlu diperjelas dalam RUU Minerba.
Baca Juga:
Kasus Izin Impor Gula, Kejagung Periksa Sekretaris Mendag Era Tom Lembong
"Kami melihat tidak semua perguruan tinggi punya kemampuan dan punya prodi pertambangan dan geologi," katanya.
Syahrial terutama menyoroti Pasal 51 A poin b dalam RUU tersebut yang menyebutkan kampus yang menerima WIUP minimal terakreditasi B.
Pertama, selain tak semua kampus punya program studi pertambangan, tak semua yang memilikinya juga bisa memenuhi syarat akreditasi. Padahal, pengelolaan tambang adalah masalah hulu ke hilir, dan terintegrasi antar semua aspek.
Baca Juga:
Viral Kontes Kecantikan Transgender Waria di Hotel Jakarta Pusat Digelar Tanpa Izin
“Padahal kita melihat pengelolaan tambang itu satu kegiatan dari hulu ke hilir terintegrasi pada semua aspek yang ada. Jadi ini perlu diperjelas nantinya kalau menurut kami," katanya.
DPR tengah merumuskan aturan baru untuk memberikan izin usaha pertambangan atau WIUP kepada perguruan tinggi dan UMKM. Usulan itu tertuang dalam pembahasan RUU Minerba yang telah menjadi usul inisiatif DPR.
Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 51A. Di sana diusulkan, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) bisa diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas.
Ada sejumlah syarat dan pertimbangan kampus bisa mendapat WIUP. Salah satunya untuk luas WIUP mineral logam, kampus harus berakreditasi minimal B. Hal itu dilakukan agar kampus bisa meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bagi masyarakat.
Tetap kritis usai dapat konsesi tambang
Muhammadiyah juga memastikan akan tetap kritis kepada pemerintah setelah mereka memutuskan untuk menerima tawaran izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dari pemerintah.
Syahrial menegaskan IUPK tak akan menghilangkan daya kritis Muhammadiyah sebagai organisasi yang ikut mendirikan NKRI.
"Alhamdulillah sampai saat ini Muhammadiyah tetap kritis. Dan insyaallah akan berlanjut terus. Karena Muhammadiyah sadar ikut melahirkan republik Ini," kata Syahrial.
Dia mengakui bahwa organisasinya telah berdebat keras sebelum memutuskan menerima IUPK dari pemerintah. Menurut Syahrial, Muhammadiyah bahkan sampai menggelar forum menyerupai Muktamar untuk membahas tawaran itu.
Forum itu menghadirkan para pimpinan Muhammadiyah dari berbagai daerah hingga para ahli. Di antara mereka ada yang menyatakan setuju, maupun sebaliknya.
"Pleno diperluas menghadirkan ketua-ketua pimpinan Muhammadiyah wilayah seluruh Indonesia. Dan di situ juga terjadi perdebatan yang tidak kurang sengitnya," katanya.
Menurut Syahrial, Muhammadiyah menerima IUPK dengan catatan kritis. Pihaknya bahkan telah membentuk tim khusus untuk mengkaji permasalahan tambang di Indonesia.
"Dari situ kemudian Muhammadiyah kemudian mengevaluasi, Muhammadiyah mencoba melihat apa yang harus dilakukan. Baik itu pada tataran kebijakan maupun pada tataran teknis,"* katanya.
Hingga saat ini, Syahrial mengatakan Muhammadiyah akan terus memastikan berbagai upaya untuk mengelola tambang dengan baik. Menurut dia, pengelolaan tambang selama ini selalu dianggap bermasalah. Namun, kata dia, masyarakat juga perlu tahu manfaat tambang.
"Kami juga percaya dan melihat bagaimana kalau tambang itu dikelola dengan baik dan benar," katanya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]