WahanaNews.co | Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk memburu tersangka
yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) KPK adalah langkah yang tepat
untuk penegakan hukum.
Namun,
memasukkan nama Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), ke dalam
DPO adalah keputusan yang bertentangan dengan hukum dan melawan keputusan
Mahkamah Agung.
Baca Juga:
Pihak Prabowo-Gibran Berharap MK Tolak Gugatan PHPU Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud
Menanggapi
keputusan tersebut, pengacara senior, Otto Hasibuan, menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang ada, SN dan IN
seharusnya sudah tidak berstatus DPO.
Kasus
mereka berasal dan dikaitkan dengan kasus Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), yang
telah dibebaskan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2019.
"Status
SN dan IN sebagai tersangka demi hukum telah gugur sejak SAT dibebaskan MA pada
tahun 2019, karena kasus mereka bukanlah kasus yang berdiri sendiri.
Mereka diduga turut serta melakukan tindak pidana bersama-sama SAT,"
ujar Otto, Minggu (24/1/2021).
Baca Juga:
Megawati Ajukan 'Amicus Curiae', Kubu Prabowo-Gibran: Pengaju Bukan Orang Netral
"Dengan
MA membebaskan SAT berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan SAT bukan merupakan
tindak pidana, maka perbuatan yang diduga dilakukan SN dan IN bersama-sama SAT
dengan sendirinya juga bukan perbuatan pidana. Logika hukumnya kan begitu. Jadi
kalau SN dan IN disebut masih berstatus DPO, hal itu adalah bertentangan dengan
hukum," tegas Otto.
Otto
Hasibuan menambahkan, KPK sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk menjadikan
SN dan IN sebagai tersangka, sehingga SN tidak dapat dimasukkan dalam DPO.
Bila KPK
tetap memasukkan SN dan IN dalam DPO, KPK dalam hal ini tidak mengindahkan dan
bahkan tidak menghormati putusan MA.