WahanaNews.co | Sanksi Uni Eropa dan AS terhadap
junta militer tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa gerakan demokrasi di
Myanmar gagal menggalang dukungan internasional.
Sejak
militer mengambil alih kekuasaan di Myanmar pada 1 Februari 2021, negara
tersebut telah menyaksikan aksi protes massal yang menuntut pemulihan
pemerintah sipil dan pembebasan tahanan politik.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Meski
situasi bergejolak, perkembangan di Myanmar sejauh ini tidak mendominasi agenda
diplomatik internasional, seperti dilansir pada Selasa (23/3/2021).
Sejauh
yang diketahui publik, peristiwa di Myanmar bukanlah bagian dari pertemuan
AS-China baru-baru ini, pembicaraan tingkat tinggi pertama antara kedua belah
pihak sejak Presiden Joe Biden menjabat.
Namun,
menurut para ahli di Institut Perdamaian Amerika Serikat, sebuah badan
non-partisan Kongres AS, Myanmar akan memberikan "kesempatan unik"
untuk kerja sama antara dua kekuatan global.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
"Myanmar
mungkin memberikan kesempatan unik bagi kedua kekuatan, yang sangat
bertentangan, untuk mengatasi bersama-sama krisis internasional yang berkembang
yang menyebar dari Myanmar," kata para ahli di lembaga tersebut.
Namun,
pada pertemuan di Alaska, diplomat top China, Yang Jiechi, menyerukan kepada AS
untuk "berhenti memajukan (gagasan) demokrasinya sendiri di seluruh
dunia."
Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa tindakan bersama Washington dan Beijing untuk
menyelesaikan krisis di Myanmar adalah hal mustahil.