Walhasil pada Januari 2024, Jay Shambaugh disebut memimpin delegasi lima pejabat senior Departemen Keuangan AS ke China untuk membahas berbagai masalah.
Di antaranya, potensi kerja sama seperti perubahan iklim, serta subsidi China yang menurut AS akan menambah kelebihan produksi yang berpotensi membuat penjualan produk dengan harga lebih rendah (predatory dumping) menjadi strategi yang menggiurkan.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Kami khawatir bahwa kebijakan dukungan industri dan kebijakan makro Tiongkok yang lebih berfokus pada pasokan dibandingkan memikirkan dari mana permintaan akan berasal, keduanya mengarah pada situasi di mana kelebihan kapasitas di Tiongkok akan berdampak pada pasar dunia," kata Shambaugh.
AS pun bukan satu-satunya pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Pada Musim gugur lalu, Uni Eropa diketahui mengumumkan meluncurkan penyelidikan anti-subsidi terhadap melonjaknya impor kendaraan listrik China di Eropa.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan harga kendaraan ini "dibuat tetap rendah" karena "subsidi negara yang besar" dari China.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Namun ketika ditanya tentang penyelidikan UE pada konferensi pers pada Selasa (20/2/2024), juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, menampik hal tersebut. Ia mengatakan perkembangan pesat dalam industri otomotif China telah menghasilkan produk-produk hemat biaya dan berkualitas tinggi bagi dunia.
"Setiap satu dari tiga mobil yang diekspor dari Tiongkok adalah sebuah mobil listrik, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap transisi ramah lingkungan dan rendah karbon di dunia," pungkasnya.
[Redaktur: Sandy]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.