WahanaNews.co | AS dan Arab Saudi bersitegang usai OPEC dan sekutunya (OPEC+) mengumumkan berencana memangkas produksi minyak mulai November 2022 nanti.
Sebagai aksi balasan, Presiden AS Joe Biden menggertak akan meninjau ulang hubungan kerja sama dengan Arab Saudi. Salah satu yang mencuat adalah menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi.
Baca Juga:
Polresta Jambi Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra 2025, Siap Tertibkan Lalu Lintas
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan hubungan harmonis antar kedua kedua negara ini sudah terjalin sejak 1940 silam. Karenanya, kerja sama AS-Arab Saudi tak sebatas perdagangan, ekonomi, dan investasi. Tetapi juga, senjata dan kemiliteran.
"Renggangnya hubungan ini bisa memunculkan riak geopolitik yang ada di kawasan Timur Tengah dan itu bisa memunculkan harga minyak mentah lebih tinggi," katanya, Rabu (12/10).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai ketegangan hubungan AS-Arab Saudi akan berdampak pada ekonomi masing-masing negara. Namun, yang paling besar akan dirasakan oleh AS.
Baca Juga:
Danrem 042/Gapu Terima Audiensi Kajati Jambi, Perkuat Sinergi Penegakan Hukum dan Stabilitas Daerah
"Ketergantungan Arab Saudi ke AS tidak besar. Kalau dari sisi alutsista, Arab Saudi bisa saja mengimpor dari negara lain, seperti Eropa. Sedangkan, AS dan negara lain bergantung pada minyak Arab Saudi," terang dia.
"Kalaupun terjadi gangguan suplai senjata ke militer Arab, tetapi ia (Arab) ada kendali terhadap minyak mentah," lanjutnya.
Pun demikian, Josua tak melihat potensi perang dagang antara AS dan Arab Saudi seperti halnya AS dengan China.