Greenland, pulau terbesar di dunia yang dihuni oleh sekitar 56 ribu jiwa, dulunya merupakan koloni Denmark dan kini menjadi wilayah otonom di bawah Kerajaan Denmark.
Secara geografis, letaknya sangat strategis, berada di antara Amerika Serikat dan Eropa. Bahkan, ibu kota Greenland, Nuuk, lebih dekat ke New York daripada Kopenhagen, ibu kota Denmark.
Baca Juga:
Pangkalan Militer Asing: AS Pimpin dengan 750, Inggris Ikuti dengan 145 di Seluruh Dunia
Menurut Ulrik Pram Gad, peneliti senior dari Institut Studi Internasional Denmark, AS telah lama menganggap Greenland sebagai kunci strategis untuk keamanan nasionalnya, terutama dalam mengantisipasi potensi ancaman dari Rusia.
Selain itu, keberadaan Jalur Barat Laut yang melintasi pantai Greenland semakin memperkuat daya tariknya sebagai wilayah maritim penting yang termasuk dalam celah strategis Greenland-Islandia-Inggris.
Ketertarikan AS terhadap Greenland bukan hal baru. Pada 1867, Presiden Andrew Johnson sudah mempertimbangkan untuk mengakuisisi Greenland setelah pembelian Alaska.
Baca Juga:
Tragedi Tahun Baru di New Orleans: Truk Seruduk Kerumunan, 10 Tewas
Pada 1946, Presiden Harry S. Truman bahkan menawarkan $100 juta kepada Denmark untuk menyerahkan Greenland, meskipun tawaran itu tidak pernah terwujud.
Namun, pada 1951, AS berhasil membangun Pangkalan Udara Pituffik (sekarang Pangkalan Luar Angkasa Pituffik) di wilayah barat laut Greenland melalui perjanjian pertahanan. Lokasi pangkalan ini strategis karena berada di titik tengah antara Rusia dan AS, menjadikannya pos peringatan rudal paling utara milik AS.
Kekayaan Mineral Langka