Sejak 15 Maret lalu, AS telah meningkatkan intensitas kampanye militernya, menyusul pernyataan keras dari mantan Presiden Donald Trump yang menegaskan bahwa serangan akan terus ditingkatkan hingga Houthi menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di jalur maritim strategis Laut Merah.
Data terakhir mencatat lebih dari 750 serangan udara diluncurkan ke wilayah Yaman sejak kebijakan militer tersebut diberlakukan.
Baca Juga:
Akhiri Era Kontroversial di Pemerintahan Trump, Elon Musk Umumkan Mundur Bertahap dari DOGE
Banyak warga sipil Yaman dilaporkan menjadi korban dalam gelombang serangan tersebut, menimbulkan sorotan dari komunitas internasional.
Kelompok Houthi menyatakan bahwa serangan mereka ditujukan kepada kapal-kapal yang memiliki keterkaitan dengan Israel di kawasan Laut Merah dan sekitarnya.
Tindakan itu mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Gaza, yang menurut Houthi, menjadi korban genosida oleh Israel.
Baca Juga:
Pemerintah RI Minta Trump Patuhi Prosedur Hukum Soal WNI yang Ditahan di AS
Selain menargetkan kapal-kapal Israel, Houthi juga mulai menyerang kapal-kapal milik Amerika Serikat dan Inggris sebagai bentuk balasan terhadap pemboman yang dilakukan negara-negara tersebut ke wilayah Yaman.
Dalam pernyataannya, kelompok Houthi menegaskan bahwa mereka akan menghentikan seluruh operasi militernya jika Israel bersedia menyepakati gencatan senjata permanen.
Komentar dari analis pertahanan di Jerman, Dr. Lukas Hartmann dari Institut Keamanan Global di Berlin, menyoroti efektivitas taktik Houthi.