WahanaNews.co | Indonesia mengimbau pihak-pihak yang terlibat konflik Ukraina menahan diri dan menghindari eskalasi. Belakangan ini, konsentrasi pasukan Rusia di perbatasan dan buntunya negosiasi memicu kekhawatiran berbagai pihak akan terjadinya konflik terbuka.
Apabila terjadi konflik di Ukraina, WNI di sana turut terdampak. Menurut data terbaru Kementerian Luar Negeri RI, saat ini terdapat 148 WNI di Ukraina.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
KBRI Kyiv sendiri disebut terus memantau perkembangan politik dan keamanan terkini di Ukraina. Rencana kontingensi juga telah disiapkan untuk menjamin keselamatan WNI. Sehingga, evakuasi bisa dilakukan apabila diperlukan.
Sejumlah negara lain telah meminta warganya meninggalkan Ukraina akhir pekan lalu. Amerika Serikat (AS) dan Australia pun mengevakuasi staf kedutaan dari Kyiv.
Akan tetapi, Kemlu menyebut situasi di Ukraina masih relatif kondusif dan WNI aman beraktivitas.
Baca Juga:
3 Negara Ini Melarang Warganya Tersenyum kepada Orang Lain, Kok Bisa?
“Kemlu bersama KBRI Kyiv dan Perwakilan RI terdekat seperti KBRI Warsawa dan KBRI Moskow telah menyusun rencana kontijensi untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan. Hingga saat ini, kondisi di Ukraina relatif masih kondusif,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kemlu Judha Nugraha, Minggu (13/2/2022) malam.
Menurut Judha, Kemlu RI meminta semua pihak yang terlibat konflik Ukraina menahan diri dan mengedepankan jalur diplomasi.
Negara-negara Eropa berupaya memediasi sengketa antara Ukraina dan Rusia. Sejumlah pertemuan diplomatis pun digelar dua pekan belakangan.
“Sebagaimana yang sudah disampaikan Ibu Menlu (Retno Marsudi), yang diperlukan saat ini adalah semua pihak menahan diri, mengedepankan diplomasi dan menghindari terjadinya eskalasi,” kata Judha.
“Pihak-pihak terkait termasuk AS, NATO, OSCE (Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa) dan para pemimpin Eropa masih terus menjalin komunikasi untuk menemukan solusi damai. Diharapkan penyelesaian melalui meja perundingan dapat segera disepakati,” ujarnya.
Pada Sabtu (12/2), Presiden Vladimir Putin disebut bertelepon dengan Presiden Joe Biden terkait situasi Ukraina.
Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macon telah terbang ke Moskow lalu Kyiv untuk mendiskusikan resolusi konflik.
Kanselir Jerman Olaf Scholz pun dilaporkan sudah bertolak ke Kyiv dan Moskow untuk menemui masing-masing negara. Scholz dijadwalkan bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Senin (14/2) dan Putin sehari berikutnya.
Prancis dan Jerman sendiri pernah memediasi konflik Rusia-Ukraina pada 2015 lalu. Mediasi itu membuahkan Persetujuan Minsk yang mengakhiri konflik terbuka di timur Ukraina.
Pada tengah pekan lalu, Menlu Retno pun berbicara melalui sambungan telepon dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov. Menurut Kemlu, inti pembicaraan pada 9 Februari itu mengenai hubungan bilateral kedua negara.
Perkembangan situasi Eropa Timur disinggung dalam pembicaraan. Ketika ditanya apakah Menlu Retno menyinggung nasib WNI di Ukraina, Judha enggan menjawab secara detail.
“Pembicaraan kedua Menlu pada tanggal 9 Februari 2022 bersifat tertutup, namun kiranya Menlu Retno Marsudi telah menyampaikan harapan Indonesia bagi adanya perdamaian di Eropa Timur,” kata Judha.
“Harapan Indonesia bagi keselamatan para WNI di kawasan tertentu adalah isu yang lazim disampaikan Ibu Menlu dalam komunikasinya dengan mitra menlu negara sahabat,” ujar nya.
NATO dan AS meminta Rusia membubarkan konsentrasi sekitar 100.000 pasukan di perbatasan Ukraina. Sebaliknya, Kremlin meminta jaminan NATO tak akan menerima negara itu dan bekas Uni Soviet lain sebagai anggota.
Pemerintahan Putin juga meminta NATO menarik pasukan dan persenjataan dari kawasan Eropa Timur.
NATO dan AS menolak tuntutan Putin tersebut. Sebagai gantinya, Kremlin pun enggan membubarkan pasukan, juga menggelar latihan perang besar-besaran bersama sekutunya, Belarusia.
Upaya masing-masing pihak untuk mencari resolusi damai sejauh ini belum membuahkan hasil berarti. Baik Rusia ataupun NATO sama-sama teguh dengan pendiriannya.
Di lain sisi, AS terus memperingatkan bahwa ancaman invasi Rusia ke Ukraina nyata dan bisa dilakukan dalam waktu dekat. Sejumlah pejabat AS bahkan menyebut Rusia bisa memulai agresi sebelum Olimpiade Beijing berakhir pada 20 Februari.
Pada 31 Januari 2022, rapat khusus di Dewan Keamanan PBB digelar untuk membahas situasi Ukraina. Namun, perwakilan AS dan Rusia justru saling tuding dalam pertemuan tersebut.
Utusan Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya menuduh Washington dan sekutunya memprovokasi dengan ancaman perang walaupun Moskow berulangkali membantahnya.
“Pembicaraan tentang ancaman perang itu provokatif. Kamu (AS) hampir memintanya sendiri. Kamu ingin itu terjadi,” kata Nebenzya dalam pertemuan itu sebagaimana dikutip Al Jazeera.
Kemudian, kunjungan pemimpin Prancis dan Inggris Raya ke Moskow juga urung membuahkan hasil berarti. Usai bertemu dengan Macron, Putin disebut belum bisa mencapai kesepakatan soal deeskalasi konflik.
“Dalam situasi sekarang ini, Moskow dan Paris belum bisa mencapai kesepakatan apa pun,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov pada 8 Februari lalu.
Sehari kemudian, pertemuan Menteri Luar Negeri Inggris Raya Elizabeth Truss dan Menlu Rusia Sergey Lavrov juga tak membuahkan hasil.
Lavrov bahkan mendeskiprsikan pertemuan itu sebagai “percakapan antara orang bisu dan orang tuli.”
Sejauh ini, Barat mengancam sanksi berat apabila Rusia nekat menyerang Ukraina. Di lain sisi, kekuatan militer NATO di Eropa Timur juga ditambah dengan pengerahan pasukan.
Pada Sabtu (12/2), Presiden AS Joe Biden kembali menekankan ancaman sanksi ketika berbicara dengan Putin melalui konferensi video.
Biden menyebut invasi Rusia ke Ukraina akan menyebabkan “penderitaan kemanusiaan yang luas”. Ia juga mengaku Barat berkomitmen menyelesaikan krisis melalui diplomasi, tetapi juga “sama siapnya untuk skenario lain.” [qnt]