WahanaNews.co | Pemimpin Swedia dan Finlandia melakukan pertemuan langsung dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden guna membicarakan keinginan kedua negara tersebut untuk bergabung dengan aliansi NATO.
Keinginan kedua negara itu bergabung dengan NATO merupakan respons terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Baca Juga:
Klaim NATO tentang Bantuan Militer Iran ke Rusia di Ukraina Tak Berdasar dan Bermotif Politik
Dilansir Reuters, Kamis (19/5/2022), Biden bertemu Perdana Menteri Swedia Magdalena Andersson dan Presiden Finlandia Sauli Niinistö di Gedung Putih untuk membahas aplikasi NATO mereka.
Pertemuan digelar beberapa jam sebelum perjalanan pertama Biden ke Asia sebagai presiden.
"Ini adalah peristiwa bersejarah, momen penting dalam keamanan Eropa. Dua negara dengan tradisi panjang netralitas akan bergabung dengan aliansi pertahanan paling kuat di dunia," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan.
Baca Juga:
Terpilih Jadi Sekjen NATO, Ini Profil Perdana Menteri Belanda Mark Rutte
Biden telah menjadikan menyatukan Eropa melawan invasi Rusia ke Ukraina sebagai prioritas utama.
Turki telah mengajukan pertanyaan tentang termasuk Finlandia dan Swedia dalam aliansi, meminta Swedia untuk menghentikan dukungan untuk militan Kurdi yang dianggap sebagai bagian dari kelompok teroris dan keduanya untuk mencabut larangan mereka pada beberapa penjualan senjata ke Turki.
Sullivan mengatakan para pejabat AS yakin kekhawatiran Turki dapat diatasi.
"Saya pikir kita akan baik-baik saja," ujar Biden.
Semua 30 anggota NATO harus menyetujui setiap pendatang baru.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan dalam sebuah video yang diposting di akun Twitter-nya Turki telah mengatakan kepada sekutunya mereka akan menolak keanggotaan Swedia dan Finlandia.
Pertemuan Biden terjadi saat dia meminta persetujuan dari Kongres AS untuk bantuan senilai USD 40 miliar bagi Ukraina untuk menyediakan senjata dan bantuan kemanusiaan hingga September.
Para pejabat AS mengatakan Paman Sam telah mengumpulkan intelijen yang menunjukkan beberapa pejabat Rusia sadar ada pelanggaran yang dilakukan terhadap warga Ukraina di Mariupol.
"Beberapa pejabat Rusia mengakui bahwa meskipun mengaku sebagai 'pembebas' kota Mariupol yang berbahasa Rusia, pasukan Rusia melakukan pelanggaran berat di kota itu, termasuk pemukulan dan penyetruman pejabat kota dan perampokan rumah," kata pejabat itu mengutip pernyataan yang tidak diklasifikasikan.
Para pejabat Rusia disebut khawatir pelanggaran ini 'lebih lanjut dapat menginspirasi penduduk Mariupol untuk melawan pendudukan Rusia'.
Kremlin tidak segera menanggapi permintaan komentar dan Reuters tidak dapat memverifikasi klaim intelijen tersebut. [rin]