Yaitu, melarang "publikasi berita, media lain, dan informasi
elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja
memutarbalikkan informasi, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang akan
memengaruhi keamanan atau perdamaian nasional dan ketertiban".
Keputusan itu juga memungkinkan pihak berwenang untuk menghentikan
orang-orang memasuki "daerah mana pun yang mereka tunjuk", menurut
laporan kantor berita Reuters.
Baca Juga:
Fredy Pratama, Gembong Narkoba, Dicari Polisi di Hutan Thailand
Gerakan protes yang dipimpin oleh mahasiswa, yang dimulai pada
Juli dan terus berkembang, telah menjadi tantangan terbesar dalam beberapa
tahun terakhir bagi penguasa Thailand.
Serangkaian protes selama akhir pekan di ibu kota adalah beberapa
yang terbesar dalam beberapa tahun, dengan ribuan orang menentang pihak
berwenang untuk berkumpul dan menuntut perubahan.
Seruan para pengunjuk rasa untuk reformasi kerajaan sangat
sensitif di Thailand, di mana kritik terhadap monarki dapat dihukum dengan
hukuman penjara yang lama.
Baca Juga:
Ini 5 Negara Tidak Pernah Dijajah, Ada Tetangga Indonesia
Thailand memiliki sejarah panjang soal kerusuhan politik dan
protes, tetapi sebuah gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan
memerintahkan partai oposisi pro-demokrasi yang masih baru terbentuk untuk
dibubarkan.
Future Forward Party(Partai Maju Masa Depan) telah terbukti sangat populer di
kalangan muda, pemilih pemula dan memperoleh bagian terbesar ketiga dari kursi
parlemen dalam pemilihan Maret 2019, yang dimenangkan oleh kepemimpinan militer
yang sedang menjabat.
Protes dihidupkan kembali pada bulan Juni ketika aktivis
pro-demokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia
berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014.