Tindakan ini mengikuti langkah sebelumnya dari pemerintahan Presiden Joe Biden yang memberikan bantuan berupa amunisi kepada Ukraina, meskipun ada keprihatinan akan potensi risiko yang dihadapi warga sipil akibat senjata tersebut.
Penggunaan amunisi depleted uranium telah menjadi topik perdebatan sengit, dengan kelompok penentang seperti Koalisi Internasional untuk Melarang Senjata Uranium mengungkapkan bahaya kesehatan yang signifikan akibat paparan debu depleted uranium, termasuk risiko terkena kanker dan cacat lahir.
Baca Juga:
Serukan Gencatan Senjata di Gaza, AS Sodorkan Draf Resolusi DK PBB
Depleted uranium, yang dihasilkan sebagai hasil samping dari proses pengayaan uranium, digunakan dalam amunisi karena densitasnya yang sangat tinggi, yang memungkinkan peluru dengan mudah menembus lapisan baja dan terbakar dalam bentuk debu dan logam yang panas.
Meskipun depleted uranium mengandung unsur radioaktif, kadar radioaktivitasnya jauh lebih rendah daripada uranium alami, meskipun partikel-partikelnya dapat bertahan dalam lingkungan untuk waktu yang lama.
Amerika Serikat telah menggunakan amunisi depleted uranium dalam jumlah besar selama Perang Teluk pada tahun 1990 dan 2003, serta dalam serangan NATO di bekas Yugoslavia pada tahun 1999.
Baca Juga:
AS-Inggris Serang Houthi Yaman, Raja Salman Buka Suara
Badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Badan Energi Atom Internasional, telah menyatakan bahwa penelitian di wilayah bekas Yugoslavia, Kuwait, Irak, dan Lebanon "menunjukkan bahwa adanya uranium yang tersebar di lingkungan tidak menghasilkan ancaman radiologis bagi penduduk di daerah yang terkena dampak."
Namun, keberadaan bahan radioaktif dapat menimbulkan tantangan yang signifikan dalam upaya pembersihan pasca perang di Ukraina.
Beberapa wilayah di negara tersebut telah terisi dengan sisa-sisa persenjataan yang belum meledak, termasuk dari bom-bom hantuan dan amunisi lainnya, serta ratusan ribu ranjau anti-personel.