Dalam serangan yang disebut sebagai “operasi paling berdarah” itu, aparat menggunakan kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone untuk memburu anggota geng yang melawan dengan bom udara dan tembakan dari gedung-gedung tinggi.
Pemerintah negara bagian Rio menyebut operasi ini sebagai “sukses besar” dalam memerangi apa yang mereka sebut sebagai “narkoterorisme”, sementara Gubernur Claudio Castro menyatakan bahwa satu-satunya korban hanyalah empat petugas polisi yang tewas dalam baku tembak.
Baca Juga:
Dari Energi hingga Pertahanan, Indonesia dan Brasil Bangun Babak Baru Kemitraan Strategis
Namun, kesaksian warga menunjukkan hal yang berbeda, di mana banyak yang menuduh polisi melakukan eksekusi di luar hukum terhadap warga sipil yang tidak bersalah.
Warga Kompleks Penha mengumpulkan puluhan jenazah yang ditemukan di hutan pinggiran kota dan membaringkannya di jalan utama sebagai bentuk protes terhadap tindakan brutal aparat.
“Negara datang untuk membantai, bukan beroperasi. Mereka datang untuk membunuh,” ujar seorang perempuan kepada AFP dengan nada marah.
Baca Juga:
Seraf Naro Cetak Sejarah, Raih Emas Perdana Individu di Kejuaraan Dunia Wushu 2025
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) juga menyuarakan keprihatinan mendalam atas jumlah korban jiwa yang luar biasa banyak dan menyerukan dilakukannya penyelidikan menyeluruh serta cepat.
“Kami mengingatkan otoritas Brasil tentang kewajiban mereka berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan mendesak adanya penyelidikan yang efektif,” demikian pernyataan resmi lembaga tersebut.
Di sisi lain, aktivis hak asasi manusia di Brasil menuding banyak korban yang ditembak dari jarak dekat dan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan yang parah.