Kedua institusi ini memanfaatkan pengalaman dari terowongan angin hipersonik JF-12 -- salah satu fasilitas simulasi penerbangan tercepat di dunia. Berkat pendekatan sinergis antara dunia akademik, industri, dan militer, Tiongkok berhasil mengembangkan teknologi ini jauh lebih cepat daripada kompetitor utamanya, Amerika Serikat.
Kunci keunggulan Tiongkok terletak pada kemampuan manufakturnya yang masif dan efisien, ditambah keberhasilan mereka mengintegrasikan sektor publik dan swasta dalam proyek strategis nasional.
Baca Juga:
Houthi Tunjukkan Taring, Drone Canggih Reaper AS Berjatuhan di Langit Yaman
Keberhasilan pendaratan horizontal MD-19 pada tahun 2020 menjadi bukti nyata bahwa Beijing bukan hanya bicara, tetapi sudah bergerak jauh ke depan.
MD-19 bukan hanya sekadar alat pengintai berkecepatan tinggi. Potensi untuk dipersenjatai dengan hulu ledak konvensional -- atau bahkan nuklir -- membuatnya menjadi ancaman nyata terhadap sistem pertahanan udara AS.
Kemampuan bermanuver ekstrem pada kecepatan tinggi, dipadukan dengan kecerdasan buatan, berpotensi mengacaukan sistem deteksi dan respons Amerika Serikat.
Baca Juga:
Pentagon Akui Lemah Hadapi China, 15 Rudal Bisa Bikin 10 Kapal Induk AS Hilang Seketika
“Jika konflik berskala besar pecah, drone ini bisa menjadi faktor pengubah permainan,” ujar Dr. Lyle Goldstein, pengamat strategi militer dari Defense Priorities.
“Kecepatan, kecerdasan buatan, dan kemampuan adaptif MD-19 membuatnya jauh lebih dari sekadar senjata; ini adalah platform eksperimental masa depan.”
Sementara itu, Kolonel (Purn.) Thomas Hamilton, mantan perwira AU AS dan peneliti di RAND Corporation, menyebut, “Kita belum punya sistem yang bisa secara konsisten menghadang target secepat dan selincah ini. MD-19 membuka babak baru dalam dominasi udara.”