WAHANANEWS.CO, Jakarta - Situasi kemanusiaan di wilayah Dikwa, Negara Bagian Borno, Nigeria timur laut, saat ini berada dalam kondisi yang sangat genting.
Ribuan warga, termasuk anak-anak dan perempuan, kini menghadapi ancaman kelaparan dan kematian akibat terhentinya sebagian besar program bantuan luar negeri.
Baca Juga:
Soal Kelaparan-Stunting, Prabowo: Butuh Aksi Nyta Tak Usah Lagi FGD
Hal ini dipicu oleh pemangkasan besar-besaran anggaran Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), yang selama ini menjadi salah satu penyokong utama bantuan pangan, perawatan kesehatan, dan tempat tinggal bagi masyarakat terdampak konflik dan kemiskinan di kawasan tersebut.
Langkah drastis pemotongan lebih dari 90 persen dana bantuan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump telah mematikan puluhan program kemanusiaan penting.
Salah satu program vital yang terdampak secara langsung adalah program pemulihan gizi Mercy Corps, yang sebelumnya menyediakan makanan terapeutik bagi anak-anak penderita gizi buruk.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Tak Boleh Ada Orang Lapar di RI
Berdasarkan laporan dari AP News, Jumat (16/5/2025), program tersebut terpaksa dihentikan secara mendadak pada bulan Februari tahun ini karena pendanaan dari USAID dihentikan.
Tak lama setelah itu, seorang bayi meninggal dunia karena tidak mendapatkan pengobatan gizi yang seharusnya diterima.
Kini, hanya UNICEF yang masih menjalankan pusat layanan gizi di Dikwa.
Namun, dengan kapasitas yang sangat terbatas dan lonjakan jumlah anak yang membutuhkan bantuan, lembaga tersebut terpaksa menolak banyak pasien.
Bantuan dari UNICEF pun tidak mampu menutupi kekosongan besar yang ditinggalkan oleh program-program sebelumnya.
Sebelum terjadi pemangkasan anggaran, USAID secara global bertanggung jawab atas hampir 50 persen dari total distribusi makanan terapeutik bagi anak-anak yang mengalami gizi buruk.
Bahkan, sekitar 40 persen dari persediaan tersebut diproduksi langsung di Amerika Serikat.
Akibat dari kebijakan penghentian ini, organisasi kemanusiaan Helen Keller International memperkirakan sekitar satu juta anak di seluruh dunia akan kehilangan akses terhadap pengobatan gizi buruk yang mereka butuhkan.
Tak hanya itu, lembaga tersebut juga memperingatkan potensi terjadinya hingga 163.500 kematian anak tambahan setiap tahun akibat tidak tersedianya perawatan.
Sejumlah negara lain, seperti Bangladesh dan Nepal, juga mengalami dampak serupa karena penghentian program bantuan oleh USAID.
Di Nigeria, satu-satunya fasilitas rawat inap untuk anak-anak dengan gizi buruk di Dikwa kini dikelola oleh organisasi Intersos, yang terus berjuang di tengah keterbatasan.
Setiap harinya, mereka menerima setidaknya 10 anak dengan kondisi medis yang kritis.
Namun, akibat terhentinya pendanaan, jumlah staf mereka menyusut drastis dari 30 orang menjadi hanya 11.
Sumber daya yang tersedia saat ini sangat minim, dan operasional mereka hanya bergantung pada Dana Kemanusiaan Nigeria, yang diperkirakan akan habis pada bulan Juni mendatang.
Di wilayah lain seperti Maiduguri, yang juga berada di kawasan timur laut Nigeria, kondisi serupa turut terjadi. Ribuan pekerja bantuan telah kehilangan pekerjaan akibat ditutupnya berbagai program.
Dampaknya tidak hanya dirasakan pada sektor kemanusiaan, tetapi juga merambat ke perekonomian lokal yang kini melemah.
Di salah satu pusat gizi milik Intersos, hanya tersisa dua dokter dan empat perawat yang harus menangani hingga 50 anak-anak kekurangan gizi setiap minggunya.
“Sebelumnya jumlahnya jauh lebih sedikit,” kata Emmanuel Ali, salah satu dokter yang tersisa dan kini harus bekerja jauh di luar kapasitas ideal.
Sementara itu, Kepala Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan di Maiduguri, Trond Jensen, menyatakan bahwa krisis ini sangat mengguncang secara emosional dan logistik.
Ia mengungkapkan bahwa hingga kini belum ada peningkatan signifikan dari donatur internasional lain yang dapat menggantikan kekosongan yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat.
Padahal, kebutuhan mendesak di lapangan semakin meningkat dari hari ke hari.
Menurut Mercy Corps, dari total 62 program kemanusiaan yang sebelumnya mereka jalankan dengan dukungan pendanaan dari pemerintah AS, sebanyak 40 program kini telah dihentikan total.
Program-program tersebut sebenarnya dirancang untuk menjangkau hingga 3,5 juta jiwa di sejumlah negara, termasuk Nigeria, Sudan, Afghanistan, Somalia, Ethiopia, Kenya, Lebanon, Gaza, dan Republik Afrika Tengah.
Dampak dari kebijakan pemotongan dana ini kini mulai terasa secara masif, memicu krisis kemanusiaan yang skalanya terus melebar tanpa tanda-tanda perbaikan.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]