"Sebaliknya," katanya. "Saya melihatnya sebagai langkah yang menyatukan orang dan melambangkan persekutuan dan hidup bersama dalam komunitas. Kami berasal dari orang yang sama dan pada akhirnya berdoa kepada Tuhan yang sama."
Dia juga tidak membuat pengecualian untuk dirinya sendiri. Setiap malam, dia mengenakan kostum lengkap yang sesuai dengan pekerjaannya—celana hitam panjang, sepatu hitam tanpa tumit, dan kemeja putih dengan rompi merah mengkilap. Di kepalanya dia mengenakan keffiyeh putih, serta keffiyeh Palestina hitam-putih di pundaknya. Tangannya selalu memegang drum dan tongkat kecil.
Baca Juga:
Pemerintah Aceh Barat: Ribuan Warga Masih Jalani Puasa Ramadhan 1445 H
Pakaiannya dijahit khusus oleh seorang wanita Druze dari desa Yarka. "Itu juga melambangkan semacam persekutuan," katanya.
Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mengalami reaksi negatif karena agamanya. "Semua orang menghormati dan memberi semangat. Saya melewati beberapa kota di daerah itu, tidak hanya Acre. Saya melewati kota saya, desa Makr, desa tetangga Jadeida dan juga Abu Snan. Kadang-kadang saya menerima undangan untuk berkeliling desa lain, karena orang menyukainya dan menyukai tradisi," paparnya, seperti dikutip dari Haaretz, Senin (27/3/2023).
Dalam beberapa tahun terakhir Ayoub juga mendapat eksposur ke luar negeri. Beberapa saluran Arab telah melaporkan masharati Kristen di Galilea.
Baca Juga:
Isu Pengusiran Muslim di India dan Kekhawatiran Pengungsi Rohingya
"Mungkin itu lebih berarti dan penting karena bencana dan perang yang terjadi di wilayah kita sekarang," katanya.
"Mereka harus melihat bahwa tidak perlu saling membantai. Hidup bersama itu mungkin."
Menurut tradisi, muadzin Islam pertama adalah Bilal bin Rabah, yang hidup antara abad ke-6 dan ke-7 Masehi. Diamembangunkan orang-orang beriman dengan suaranya yang jernih.