WAHANANEWS.CO, Jakarta - Zohran Kwame Mamdani (34) kini resmi menjabat sebagai Wali Kota New York, menorehkan sejarah baru bagi kota metropolitan tersebut.
Kemenangan Mamdani dipastikan setelah perolehan suaranya tak terkejar hingga Selasa (4/11/2025) malam waktu New York atau Rabu (5/11/2025) Waktu Indonesia Barat (WIB).
Baca Juga:
Dana Rp1 Miliar Hilang Digondol Phishing, Dapur MBG Bandung Barat Kolaps dan Ribuan Siswa Tak Dapat Makan
Politikus progresif itu mengantongi 50,3 persen dari 89 persen suara yang telah masuk.
Andrew Cuomo menyusul di posisi kedua dengan 41,6 persen, sementara kandidat Partai Republik Curtis Sliwa hanya mendapat 7,2 persen suara.
Dukungan untuk Mamdani datang bukan hanya dari publik Amerika, tetapi pula dari tokoh Asia termasuk Indonesia.
Baca Juga:
Kisah Tragis di Kendal: Dua Putri Temani Jenazah Ibu 28 Hari, Bertahan dengan Air Rebusan
Salah satu yang memberikan apresiasi terbuka adalah Akhmad Sahal, kandidat Doctor of Philosophy (PhD) di Pennsylvania University dan aktivis sekaligus pengurus PCINU Amerika.
Melalui akun X @sahal_AS pada Rabu (5/11/2025), Sahal menyoroti latar belakang “tak lazim” Mamdani sebagai pemimpin kota terbesar di AS.
Sahal menjelaskan Mamdani merupakan muslim keturunan Asia Selatan pertama yang terpilih sebagai Wali Kota New York dalam satu abad terakhir.
Figur yang lahir di Uganda itu berasal dari keluarga imigran India.
Ibunya, Mira Nair, adalah sutradara ternama dengan penghargaan internasional.
Setelah lulus sekolah menengah atas, ia sempat ditawari kesempatan belajar di Cambridge University Inggris atau Harvard University di Amerika Serikat.
Mira memilih Harvard untuk memperdalam film dokumenter.
Ayahnya, Mahmood Mamdani, adalah akademisi ternama yang mengajar di Columbia University dan sejumlah kampus prestisius di Uganda serta Amerika Serikat.
Mahmood juga pernah menjadi pengajar tamu di Princeton University dan di beberapa negara lain.
Pada 1963, Mahmood mendapat beasiswa ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi.
Baik Mahmood maupun Mira merupakan diaspora India yang lahir di negara tersebut meski berasal dari kota dan negara bagian berbeda.
Mahmood beragama Islam, sementara Mira berasal dari keluarga Hindu.
Istri Mamdani, Rama Duwaji, adalah diaspora Suriah yang lahir di Texas, Amerika Serikat.
Duwaji berkarya sebagai ilustrator, animator, dan pembuat keramik.
Saat usia sekolah, Mamdani pernah bersekolah di St George's Grammar School, salah satu sekolah swasta tertua dan terbaik di Afrika Selatan.
Mamdani menghabiskan dua tahun masa kecilnya di Cape Town karena ayahnya mengajar di sana.
Dari Afrika Selatan, keluarga Mamdani pindah ke kawasan elite Morningside Heights, Manhattan, tepat di sisi Central Park.
Lingkungan dan sekolahnya di Manhattan menunjukkan bahwa Mamdani tumbuh dari keluarga mapan dan bukan dari kelas ekonomi biasa.
Manhattan dikenal sebagai distrik paling elite di New York.
Keluarga Mamdani sempat kembali setahun ke Kampala, Uganda, tinggal bersama keluarga Mahmood yang merupakan diaspora India kelahiran Tanzania.
Di Kampala, keluarga ini hidup dalam kondisi menengah atas.
“Pusat kapitalisme dipimpin sosialis! Mayor termuda, Muslim imigran, mantan rapper, ibu sutradara film, ayah profesor di Columbia,” tulis Sahal dalam unggahannya Rabu (5/11/2025).
“Dimusuhi Trump, keras mengutuk genosida Israel di Gaza, ancam tangkap Netanyahu kalau ke NY, tapi didukung mayoritas komunitas Yahudi New York,” lanjutnya.
Profil Mamdani
Sehari sebelum penghitungan suara, sebuah jajak pendapat ABC News, Politico, dan Public First mencatat kian pudarnya optimisme publik terhadap konsep “Impian Amerika”.
Impian Amerika, dipopulerkan James Truslow Adams pada 1931, berbicara tentang kebebasan menentukan jalan hidup, kemakmuran, dan mobilitas sosial melalui kerja keras.
Kisah hidup Mamdani dianggap sebagian pihak sebagai representasi nyata konsep tersebut meski ia bukan berasal dari keluarga biasa.
Masa SMP dan SMA ia habiskan di New York.
Mamdani aktif berolahraga dan mengikuti kegiatan politik sekolah.
Ia bermain kriket seperti banyak orang Asia Selatan serta bermain sepak bola, bukan American football.
“Beberapa teman terdekat saya disatukan oleh sepak bola,” ujarnya.
Pendirian klub kriket di sekolah menjadi jejak awal kemampuan politik dan organisasinya.
“Dia berjalan keliling sekolah bersama sekelompok anak dan berkata kita akan menjadi tim kriket,” cerita Avneet Singh kepada The New York Times.
Klub itu ia dirikan saat bersekolah di Bronx High School of Science, sekolah elite yang alumninya banyak menjadi senator dan konglomerat.
“Dia selalu penasaran dan ingin mencoba hal di luar lingkungannya,” ujar Daniel Kisslinger, teman SMA-nya.
Jejak Politik
Langkah politiknya dimulai sejak SMP lewat simulasi pemilu, saat ia mengusung isu kesetaraan hak dan anti-perang.
Di SMA, ia kalah dalam pemilihan wakil ketua OSIS.
Usai lulus, ia belajar di Bowdoin College, Maine, dan mendirikan Student Justice for Palestine.
Setelah lulus, ia terlibat dalam program pencegahan penyitaan rumah bagi imigran ekonomi rendah di Queens.
Pengalaman ini mendorongnya terjun ke politik hingga pada 2018 ia menjadi warga negara Amerika Serikat untuk melangkah lebih jauh.
Ia pernah menjadi relawan kampanye beberapa politisi, termasuk Khader El-Yateem, seorang Katolik Palestina.
Pada Oktober 2019, ia mengumumkan pencalonan sebagai anggota Dewan Kota New York.
Ia menang pada 2020, seiring kemenangan Joe Biden atas Donald Trump dalam pemilu presiden.
Sebagai anggota dewan, ia sukses mendorong program bus gratis dan ingin memperluasnya saat berkampanye untuk kursi wali kota.
Masa Kampanye
Mamdani juga kerap diserang karena kebiasaan makan dengan tangan, sesuatu yang ia anggap bentuk autentisitas identitasnya.
Ia bangga sebagai muslim diaspora India kelahiran Uganda dan tidak menyembunyikan identitasnya.
Dukungan penuh terhadap Palestina memicu keraguan sebagian orang mengenai sikapnya terhadap warga Yahudi.
“Sebagai wali kota, saya akan membela Yahudi New York dan menemui mereka di manapun di lima kawasan,” tegasnya.
Ia tinggal di Astoria, Queens, mengontrak apartemen seharga 2.300 dollar AS per bulan yang diperuntukkan bagi kelas menengah bawah.
Di luar politik, Mamdani juga bermusik dengan nama panggung Young Cardamom dan pernah merilis lagu berbahasa Uganda.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]