WahanaNews.co, Yerusalem - Sebelas hari perang melawan pejuang perlawanan Palestina yang dipimpin Hamas, keuangan Israel sontak melemah. Demikain laporan surat kabar Israel, Maariv, pada Selasa (17/10/2023).
Surat kabar itu melaporkan, perekonomian Israel tampak mulai menanggung akibat yang besar dari perang.
Baca Juga:
Ketegangan Meningkat, 2 Tentara Iran Gugur dalam Serangan Israel
Seperti diketahui, peperangan Hamas-Israel dimulai pada tanggal 7 Oktober ditandai oleh serangan bertajuk Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Selasa, dikemukakan bahwa Israel mengalami kerugian ekonomi sebesar 4,6 miliar shekel atau setara dengan 1,1 miliar dolar AS (sekitar Rp 17,3 Triliun) dalam periode sebelas hari sejak dimulainya perang.
Kerugian ekonomi yang signifikan ini disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja dan penurunan produktivitas di berbagai sektor ekonomi Israel.
Baca Juga:
Usai Serangan Bertubi-tubi Hizbullah, Israel Bombardir Lebanon Selatan
Departemen Ekonomi Serikat Produsen Israel juga menganalisis bahwa penutupan sekolah, pembatasan pergerakan, dan mobilisasi besar-besaran tentara cadangan juga telah berdampak negatif terhadap produktivitas ekonomi.
Secara keseluruhan, diperkirakan sekitar 1,3 juta pekerja di Israel tidak dapat bekerja selama periode tersebut.
Di wilayah selatan Israel, sekitar 85 persen pekerja absen dari pekerjaan mereka, sedangkan di wilayah lainnya sekitar 20 persen pekerja juga tidak dapat bekerja.
Ketua Serikat Produsen dan Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perusahaan, Ron Tomer, menegaskan bahwa analisis tersebut secara jelas menunjukkan dampak serius perang terhadap ekonomi Israel.
Harus dicatat bahwa estimasi tersebut belum memperhitungkan kerusakan finansial tambahan yang mungkin timbul selama periode tersebut dan bisa sangat signifikan.
"Kerugian total yang diterima Israel hanya akan dinilai secara ekonomi pada akhir pertempuran, seperti kerusakan langsung pada pabrik dan kerusakan pada profitabilitas,” tulis laporan media tersebut.
Selain penurunan produktivitas, Israel juga akan mengalami kerugian tidak langsung, seperti rusaknya reputasi perusahaan Israel dengan pelanggan di luar negeri, pembatalan transaksi, kegagalan mematuhi jadwal, dan depresiasi syikal (mata uang Israel).
Jika konflik meluas dan tidak hanya mencakup Hamas tetapi juga Iran, pendukung utama Palestina, Bloomberg memperkirakan harga minyak bisa naik hingga 150 dolar AS per barel dan menyebabkan resesi global yang mengurangi produksi dunia sebesar 1 triliun dolar.
Keterlibatan Iran di pihak Palestina dapat menyebabkan pengurangan produksi minyak Iran dan pengetatan sanksi Barat yang menghambat penjualan minyak Iran.
Bloomberg juga mencatat bahwa gejolak harga minyak sebesar ini akan menghambat upaya global dalam mengendalikan tingkat inflasi.
Di Amerika Serikat, target inflasi Federal Reserve sebesar 2 persen kemungkinan tidak akan tercapai, dan biaya tinggi bensin akan menjadi hambatan bagi kampanye pemilihan kembali Presiden Joe Biden.
Salah satu kemungkinan lainnya adalah Iran dapat menutup Selat Hormuz, yang merupakan jalur vital untuk pasokan energi global. Lebih dari seperenam produksi minyak dunia dan sepertiga produksi gas alam cair dunia melewati jalur tersebut.
"Harga minyak saat ini cenderung stabil tetapi tegang," kata Henning Gloystein, direktur energi, iklim, dan sumber daya di Eurasia Group.
"Kami tidak memerlukan waktu lama untuk mencapai titik krisis. Sebelumnya, kita telah menghadapi krisis seperti perang di Ukraina, pengurangan pasokan gas dari Rusia, sanksi yang membatasi ekspor minyak, dan saat ini terdapat perang di Timur Tengah – ini menjadi masalah serius," tambahnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]