Di tengah meningkatnya ketegangan keamanan Eropa setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, Swiss menghadapi dilema antara mempertahankan netralitas atau mendekat ke sistem NATO, tanpa menjadi anggota resmi aliansi tersebut.
Kebocoran laporan evaluasi pengadaan pada tahun 2021, yang dimuat oleh Neue ZĂĽrcher Zeitung, memperkuat tuduhan bahwa pemilihan F-35 berat sebelah dan didorong oleh kepentingan politik jangka panjang, bukan kebutuhan militer yang realistis.
Baca Juga:
Insiden di Kibbutz Nir Yitzhak, Bom Salah Sasaran Bikin Militer Israel Malu
Rafale, dengan arsitektur terbuka, biaya perawatan yang lebih rendah, dan rekam jejak tempur di Mali dan Suriah, disebut-sebut sebagai opsi yang lebih logis bagi Swiss.
Keunggulan lainnya adalah kontrol yang lebih besar atas perangkat lunak dan logistik, yang membuatnya cocok bagi negara yang menjunjung tinggi kemandirian.
Seorang anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat menyatakan, "Rafale mungkin bukan jet tercanggih, tapi itu yang kita perlukan—efisien, handal, dan tidak membuat kita tergantung pada satu negara."
Baca Juga:
China Pamer Jet Futuristik, AS Bangun Frankenjet dari Rongsokan F-35
Di sisi lain, pemerintah Swiss yang dipimpin Menteri Pertahanan Viola Amherd tetap mempertahankan keputusan mereka.
"F-35 menawarkan performa luar biasa dengan biaya operasional jangka panjang yang kompetitif," kata Amherd dalam konferensi pers baru-baru ini. Namun, tekanan publik yang kian meningkat telah membuat posisinya menjadi sorotan.
Program F-35 sendiri merupakan tulang punggung strategi ekspor pertahanan AS, dengan proyeksi biaya seumur hidup mencapai USD1,58 triliun hingga tahun 2088, menurut GAO.