WahanaNews.co
| Statistik telah menunjukkan bukti adanya
manipulasi data pemantauan kualitas udara di Cina.
Ini
terungkap ketika data itu dibandingkan dengan data dari hasil pengukuran di
kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di kota yang sama.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Pemerintah
Cina pernah memberi sanksi para pejabat lokal yang terlibat manipulasi data
kualitas udara.
Tapi,
hasil analisis statistik independen yang terbaru ini menunjukkan luasnya dugaan
manipulasi itu.
Jesse
Turiel dari Harvard University dan Robert Kaufmann dari Boston University
mempelajari data dari stasiun-stasiun pemantauan kualitas udara di Cina di lima
kota: Beijing, Shenyang, Shanghai, Guangzhou dan Chengdu.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Mereka
kemudian membandingkannya dengan data yang dikumpulkan dari kantor-kantor
perwakilan AS di lima kota itu.
Hasilnya,
mereka menemukan pola yang sangat berbeda di antara dua kelompok data itu pada
parameter kualitas udara dengan polutan PM2.5, partikel debu yang terbukti
berelasi dengan kanker paru.
Data
yang dipelajari berasal dari periode 2015-2017.
Turiel
dan Kaufmann mengamati data statistik yang berbeda atas jumlah hari di mana
kualitas udara berada di bawah ambang batas kebijakan Langit Biru.
Kebijakan
itu menciptakan indeks polusi yang dianggap "terlalu tinggi" jika angkanya 100
atau lebih dan indeks "bisa ditoleransi" jika kurang dari 100.
Keduanya
menemukan banyak pada data tersebut hari-hari dengan indeks polusi udara yang
tipis di bawah angka 100 dan beberapa yang dituliskan tepat pada angka 100.
"Hari-hari
yang sebenarnya tergolong polusi terlalu tinggi kemungkinan dituliskan dengan
indeks 99, 98, 97," kata Turiel.
Analisis
statistik yang dihasilkan mengeluarkan perbedaan di antara kedua data itu yang
40 persen lebih besar daripada yang diharapkan terjadi, dan 63 persen di
antaranya memperlihatkan angka hasil pengukuran oleh stasiun-stasiun Cina lebih
rendah daripada dari stasiun Amerika.
Seperti
yang dipublikasikan dalam jurnal Plos One terbit 21 April 2021, Turiel
dan Kaufmann juga menyatakan menemukan cukup banyak kesalahan pelaporan pada
hari-hari di mana terjadi polusi udara terburuk.
Ini
artinya manipulasi terjadi terutama saat kualitas udara faktual terukur buruk.
Temuan
itu kontras dengan hasil studi sebelumnya yang menyatakan manipulasi data
kualitas udara Cina berakhir pada 2012 ketika Beijing menerapkan serangkaian
reformasi kebijakan.
"Temuan
kami memberi bukti kalau manipulasi oleh pemerintahan lokal tidak terhenti pada
2012, tapi berlanjut dalam perilaku yang berbeda," bunyi sebagian isi
laporan di jurnal.
Kementerian
Lingkungan Cina mengumumkan pada 2017 telah menginvestigasi sebanyak 1.140
pejabatnya untuk sangkaan pelanggaran aturan polusi pascainspeksi tahun
sebelumnya.
Pada
awal 2018, kementerian itu menyatakan menjaring sejumlah pejabat dari tujuh
kota yang memanipulasi data.
Turiel
tak tahu apakah pengungkapan terbaru telah menghentikan masalah manipulasi data
tersebut.
Dia
juga mengatakan kalau data pembanding dari kantor kedutaan AS juga telah tak
tersedia.
Meski
begitu, Turiel juga mengatakan ada bukti kalau kualitas udara di kota-kota di
Cina secara umum membaik selama periode studi yang dilakukannya.
Data
versi Amerika menunjukkan konsentrasi PM2,5 tahunan turun lebih dari 25 persen
antara 2013 dan 2017.
Turiel
dan Kaufmann meyakini kalau pendekatan statistik mereka dapat digunakan oleh
pemerintahan negara-negara untuk mencari bukti manipulasi data kualitas udara
oleh pemerintah daerahnya, dan mengantar kepada penegakan hukum. [dhn]