“Ketika dia tidak bisa mendapatkan validasi dari orang lain, dia akan insecure, rendah diri, dan jadi mudah cemas. Itu sebenarnya sudah gejala awal adanya gangguan perilaku,” terangnya.
Kecemasan ini membuat individu merasa tidak cukup baik tanpa pengakuan publik, sehingga menimbulkan tekanan mental berkelanjutan.
Baca Juga:
Tito Karnavian Instruksikan Pejabat Daerah Pangkas Acara Mewah dan Flexing
Dalam situasi lebih parah, flexing bisa berubah menjadi kecanduan dengan dorongan terus-menerus memposting konten demi menarik perhatian.
“Kalau sudah kecanduan, dia akan sering memposting sampai menunjukkan perilaku narsistik. Misalnya, merasa perlu untuk terus-menerus mendapatkan pujian hingga jadi merendahkan orang lain,” ungkap Fionna.
Kebiasaan tersebut bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial dengan lingkungan sekitar.
Baca Juga:
Tito Instruksikan Kepala Daerah Tunda Semua Kegiatan Seremonial dan Pemborosan
Flexing yang terlalu berlebihan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain, terutama ketika pelaku sulit menerima kritik dan hanya fokus mencari pengakuan.
“Jadi memang harus dilihat lagi seberapa jauh penyimpangan perilaku akibat flexing dan pahami seberapa mengganggunya,” tutur Fionna.
Jika lingkungan mulai merasa risih atau terganggu, itu menjadi sinyal kuat bahwa flexing sudah melewati batas wajar.