WahanaNews.co | Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr M Adib Khumaidi SpOT mengklarifikasi penggunaan ganja medis masih perlu pengkajian yang lebih dalam demi memastikan keamanan dan keselamatan pasien.
"Kita harus benar-benar mengkaji ini karena setiap apa pun yang diberikan kepada kita, apalagi yang sifatnya obat, pasti akan ada namanya efek samping dan itu tetap harus jadi perhatian kita," kata Adib usai pembukaan Konferensi Asosiasi Dokter Medis Sedunia di Jakarta, Senin (4/7/2022).
Baca Juga:
Inang Winarso Peneliti Ganja Medis Ditemukan Meninggal di Hotel Banda Aceh
Adib menjelaskan, obat baru harus berbasis pada bukti klinis.
Menurut dia, perlu dikaji apakah obat tersebut dapat dijadikan obat utama, obat pendukung yang diberikan bersamaan dengan obat lain, atau obat alternatif jika pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
"Ini yang harus kita pahami karena dalam penatalaksanaan sebuah penyakit itu ada yang namanya standar emas, mana yang harus kita obati dan mana pengobatannya. Semuanya melewati proses berbasis bukti, jadi kita harus benar-benar mengevaluasi dalam bentuk riset, karena kepentingan kita saat ini adalah keselamatan pasien," jelas Adib.
Baca Juga:
Kepala BNN Pastikan Tak Akan Restui Ganja Medis
Proses riset tersebut, menurut Adib, meliputi berbagai tahapan termasuk pengumpulan jurnal-jurnal ilmiah yang sudah ada untuk dijadikan referensi, analisis data, hingga tahap uji klinis.
Adib mengatakan bahwa IDI siap berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk berkolaborasi membuat satu kajian ilmiah mengenai ganja medis.
"Bersama Kementerian Kesehatan, kami siap untuk berkolaborasi, untuk benar-benar membuat satu kajian based on research mengenai ini. Tapi yang paling penting, tentunya pengobatan-pengobatan yang sudah menjadi golden standard pun harus kita lakukan," ujar Adib.
"Saya kira nanti kita juga bisa libatkan para pakar, seperti pakar farmakologi untuk melakukan pengkajian ini. Kemudian lembaga-lembaga riset, semuanya, saya kira akan dilibatkan," kata dia.
Dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Apt Zullies Ikawati PhD berdapat bahwa ganja medis bisa menjadi alternatif obat apabila pengobatan sebelumnya tidak memberikan respons baik. Itu artinya, penggunaan ganja medis belum menjadi pilihan utama.
"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obatan yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," kata Prof Zullies kepada Antara, Jumat (1/7/2022).
Di sisi lain, menurut Prof Zullies, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya.
Perlu pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat untuk itu.
"Jika benar-benar tidak ada yang mempan, baru ganja medis bisa digunakan, itu pun dengan catatan harus berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas," kata pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM.
Prof Zullies mengatakan, tentu saja masih ada obat lain yang dapat digunakan, tidak hanya ganja medis.
Ia menegaskan, posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak memberikan respons yang baik.
"Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," ujar Prof Zullies.
Sebagai informasi, ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya.
Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.
CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang tengah ramai diperbincangkan belakangan ini.
Saat disinggung dari sisi regulasi, Prof Zullies berpendapat hal tersebut bisa mengacu pada senyawa morfin, misalnya, yang juga berasal dari tanaman candu/opiat.
Ia menjelaskan, morfin adalah obat yang legal dan dapat diresepkan untuk indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain, seperti nyeri kanker.
"Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat. Tetapi tanamannya kan tetap ilegal dan masuk ke dalam narkotika golongan 1, karena berpotensi besar untuk disalahgunakan," kata Prof Zullies. [rin]