Meski demikian, Dicky mengingatkan bahwa dominasi subtipe flu tidak selalu tetap karena sifatnya yang bersifat spasial dan temporal sehingga setiap negara bisa memiliki pola berbeda dan karena itu sistem pemantauan lokal harus berjalan baik.
“Dominasi flu A H3N2 bersifat spasial dan temporal, tidak otomatis semua negara memiliki pola yang sama,” tuturnya.
Baca Juga:
Suhu 38 Derajat Menyengat Indonesia, BMKG Ingatkan Bahaya Heatstroke di Jam Puncak
Ia menegaskan bahwa sistem sentinel di Indonesia harus terus memonitor pergerakan kasus untuk mendeteksi lebih awal potensi lonjakan, apalagi sebagian besar kasus flu memang akan sembuh dalam rentang 1 hingga 2 minggu namun pasien dengan paparan influenza A cenderung mengalami demam lebih lama, batuk berkepanjangan, hingga komplikasi seperti pneumonia sekunder yang membuat masa rawat lebih panjang.
Dicky juga menyebut anak-anak dan lansia berada dalam kelompok paling rentan terhadap infeksi berat influenza A karena daya tahan tubuh yang tidak sekuat orang dewasa dan risiko semakin besar jika dipicu varian baru, ketidaksesuaian vaksin, atau infeksi ganda dengan COVID-19 yang memicu perburukan kondisi klinis.
“Flu A menyebabkan lebih banyak rawat inap dengan durasi lebih lama karena komplikasi pneumonia sekunder, eksaserbasi asma, atau efek batuk berkepanjangan,” ujar Dicky.
Baca Juga:
Israel Langgar 47 Kali Gencatan Senjata, Korban Sipil Terus Bertambah
Beberapa negara seperti Amerika Serikat bahkan melaporkan musim influenza tahun ini memiliki beban rumah sakit lebih tinggi dibanding musim flu sebelumnya dan ada potensi angka kematian yang ikut meningkat.
Menghadapi tren tersebut, Dicky menekankan pentingnya langkah pencegahan sederhana dari masyarakat mulai dari vaksinasi flu musiman hingga menjaga kebersihan diri agar transmisi penyakit bisa ditekan.
“Kelompok berisiko tinggi harus divaksinasi flu dan gejala berat yang perlu diwaspadai antara lain demam tinggi dan sesak napas,” pungkasnya.