Kondisi ini menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi hemoglobin secara normal, yaitu protein penting dalam sel darah merah yang bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
Ketika hemoglobin tidak terbentuk dengan baik, sel darah merah tidak berfungsi optimal, sehingga penderita mengalami anemia kronis dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
Baca Juga:
Tenaga Kesehatan Tertular MERS di Riyadh, Jemaah Diminta Tingkatkan Proteksi
Talasemia mayor adalah bentuk paling parah dari penyakit ini.
Pasien dengan kondisi ini harus menjalani perawatan intensif sepanjang hidup mereka, berupa transfusi darah secara rutin dan pengobatan kelasi besi untuk mencegah penumpukan zat besi berlebih dalam tubuh.
"Artinya, memang perkiraan 2.500 bayi lahir setiap tahunnya sebagai penyandang talasemia mayor ini kemungkinan benar adanya," ujar Ketua Tim Kerja Penyakit Kelainan Darah dan Imunologi Kemenkes, Endang Lukitosari dalam webinar peringatan Hari Talasemia Sedunia dikutip dari detikHealth Kamis (22/05/2025).
Baca Juga:
Kasus Kanker Naik, Menkes: Deteksi Dini Jadi Kunci Selamatkan Nyawa
Endang menambahkan bahwa tanpa adanya upaya pencegahan yang konkret, seperti skrining sebelum menikah, banyak individu yang berisiko tinggi menjadi pembawa sifat talasemia dan melahirkan anak dengan kondisi talasemia mayor.
Ia mengingatkan bahwa pengidap talasemia yang tidak mendapatkan penanganan atau pengobatan yang memadai sangat rentan terhadap komplikasi medis yang serius.
“Kalau kita tidak melakukan upaya pencegahan berupa skrining, ini tentunya ada komplikasi medis, dan juga ada komplikasi non medis karena terjadi perubahan fisik. Kemudian juga memerlukan upaya waktu pengobatan seumur hidup, dan ada stigma kemungkinan menjadi penghambat,” ujar Endang dalam pernyataannya.