Adanya status KLB, kata Dicky, pemerintah kemudian mengeluarkan surat edaran kepada pelayan publik, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan terkait pembatasan obat tersebut. Seiring dengan hal itu pemerintah secara bertahap mengeluarkan hasil investigasi.
"Adanya pelarangan juga harus memberi opsi karena orang sakit kan ada, anak sakit dengan batuk pilek ada itu artinya pada tenaga kesehatan maupun publik berikan literasi," kata Dicky.
Baca Juga:
Korban Gagal Ginjal Akibat Obat Sirop Diberi Santunan Kemensos, Muhadjir Serahkan Simbolis
"Opsinya selain membatasi, sekarang mulai lebih belajar bahwa tidak sedikit-sedikit minum obat juga ada opsi misalnya puyer, tablet atau sediaan lain yang memungkinkan," sambungnya.
Tak hanya itu, upaya lain juga harus dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah seperti membentuk satuan tugas (satgas) dan melakukan investigasi agar rujukan dan tahapannya menjadi jelas.
Dicky mengatakan fasilitas kesehatan yang belum merata merupakan pekerjaan rumah (PR) terbesar pemerintah yang belum diselesaikan sejak adanya pandemi Covid-19. PR tersebut mencangkup masalah layanan kesehatan, distribusi, tenaga kesehatan, serta kelengkapan sarana dan prasarana.
Baca Juga:
Korban Keracunan Obat Muncul Lagi, Epidemiolog: BPOM Harus Bertindak
"Ini terlihat dari kasus gagal ginjal banyak yang keterlambatan terjadi karena tidak terdeteksi dan telat dirujuk. Dan bahkan ketika terdeteksi tidak ada sarana dan prasarananya. Mungkin dokter anaknya tidak ada atau fasilitasnya tidak lengkap," ujarnya.
Kendala-kendala itu harus segera diselesaikan pemerintah karena kalau tidak segera ditangani, maka sampai kapanpun Indonesia akan mengalami masa-masa kritis seperti sekarang.
"Kematian anak ini adalah ciri yang sangat jelas lemahnya sistem kesehatan," katanya.