"Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik," tutur Mayndra.
"Seperti tadi disebutkan oleh Pak Dirjen dari Komdigi, ada beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak kita ini ya, bermain game online, nah di situ mereka juga ada sarana komunikasi chat, ketika di sana terbentuk sebuah komunikasi lalu mereka dimasukkan kembali ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi, yang lebih tidak bisa terakses oleh umum," terangnya.
Baca Juga:
Dibujuk Lewat Game Online, Bocah SD di Serang Diculik dan Diduga Dicabuli
Menurutnya, anak-anak potensial kemudian dihimpun ke platform lebih tertutup seperti WhatsApp dan Telegram, di mana proses indoktrinasi berlangsung bertahap.
"Dari awal memang tidak langsung menuju kepada ideologi terorisme, tetapi anak-anak dibikin tertarik dulu, kemudian mengikuti grup, kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin ini ya, di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung," ujar Mayndra.
Ia memastikan anak-anak yang teridentifikasi sebagai korban mendapatkan pendampingan dari Kementerian PPPA, KPAI, Kementerian Sosial, serta pemangku kepentingan terkait lainnya.
Baca Juga:
Kenal dari Game Online, Pria Ini Culik Dua Bocah Asal Serang
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa kerentanan anak terpapar radikalisme dipicu berbagai faktor sosial seperti bullying, keluarga yang tidak harmonis, kurangnya perhatian, dan minimnya literasi digital.
"Dari hasil asesmen kerentanan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor sosial, di antaranya adalah bullying dalam status sosial broken home dalam keluarga," ucap Trunoyudo.
"Kemudian kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," imbuhnya.