"Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung," ujarnya.
Atnike juga berujar ruang sidang yang kurang proporsional tak bisa mengakomodasi keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengawal persidangan. Jumlah pengunjung sidang disebut sekitar 50-100 orang.
Baca Juga:
Kasus Vina-Eki Cirebon: Kesimpulan Komnas HAM Simpulkan 3 Pelanggaran Polisi
Lebih lanjut, Atnike menggarisbawahi aksesibilitas keluarga korban mengikuti persidangan karena proses peradilan dibuat terpisah.
"Proses pertanggungjawaban pidana (juga) tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI," katanya.
"Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika," lanjut dia.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Keluarga korban, kata dia, juga tak puas dengan konstruksi dakwaan Oditural Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki.
Pasalnya, Helmanto dijerat Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer dan Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair. Sementara Pasal 340 KUHP dijadikan dakwaan pertama lebih subsidair.
"Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali," ujarnya.