“Ditemukan file draft perjanjian kerja sama untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di dalam laptop tersangka yang mana perjanjian tersebut diberikan kepada calon PSK sebelum berangkat ke Sydney,” kata dia.
Surat kerja sama itu tidak memuat hak-hak korban, seperti asuransi, gaji, jam kerja, maupun jenis kerja.
Baca Juga:
Pasutri WNA Australia di Balu Terlibat Bisnis Prostitusi Jadi Tersangka
Selain itu, korban juga disodorkan perjanjian utang piutang sebanyak Rp50 juta dengan alasan sebagai jaminan.
“Apabila para korban memutus kontrak atau tidak bekerja lagi dalam kurun waktu tiga bulan, maka korban harus membayar utang tersebut,” ucapnya.
Hasil penelusuran penyidik juga menemukan adanya barang bukti berupa catatan pembayaran dan pemotongan gaji dari korban yang dikirimkan kepada tersangka FLA sebagai bentuk laporan dan kontrol dari tersangka.
Baca Juga:
Polisi Gerebek Prostitusi Online di Aceh, 3 Pasangan Tak Sah Ditangkap
Selain itu, penyidik menyita barang bukti lainnya, yaitu satu buah paspor milik tersangka FLA, dua buah buku tabungan Tahapan BCA, dua kartu ATM, tiga buah ponsel, satu unit laptop, satu buah hard disk, dan 28 paspor milik WNI. Adapun puluhan paspor itu saat ini tengah diselidiki apakah milik korban atau bukan.
Berdasarkan pengakuan tersangka, jaringan ini telah beraktivitas sejak tahun 2019. Jumlah WNI yang direkrut menjadi PSK di Australia berjumlah kurang lebih 50 orang.
“50 orang korban ini masih ada juga yang di Australia dan ada juga yang sudah kembali ke Indonesia. Beberapa orang yang sudah pulang ini adalah pulang sendiri dan setelah kita cari, juga ada beberapa korban yang tidak mau memberikan keterangan,” kata dia.