Selanjutnya adalah mekanisme harga yakni skema feed in tariff, harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan. Kemudian, insentif fiskal dan non fiskal untuk pengembangan listrik energi terbarukan.
Listrik EBT yang masih lebih mahal ini dikhawatirkan akan menjadi beban APBN karena negara harus nombok. Lalu, apakah ini yang menjadi sebab Jokowi belum mau teken?
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Selain target bauran 23% pada 2025, target lebih jauh lagi pemerintah ingin mencapai netral karbon di tahun 2060. Di mana salah satu langkah yang akan diambil adalah dengan mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Jika pengurangan PLTU dipercepat, artinya akan ada tambahan biaya, terutama untuk mengembangkan EBT yang harga listriknya jauh lebih mahal.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, Indonesia tidak akan mengiba kepada negara lain agar pengurangan PLTU bisa lebih cepat.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Kita menawarkannya, kalau kamu mau ikut dukung, ayo kita bisa lakukan 2050, kita bisa lakukan 2040, tetapi tunjukkan kami uangnya mana, uangnya itu yang kemarin mengemuka di Glasgow," kata Rida dalam webinar, Selasa (23/11/2021).
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menyampaikan hal yang sama. Presiden mewanti-wanti terkait rencana transisi energi ini agar jangan sampai justru membebankan negara maupun rakyat.
Jika beralih ke EBT, maka harga listriknya diperkirakan akan lebih mahal, Presiden pun menegaskan agar beban tambahan biaya ini jangan sampai dibebankan kepada negara maupun rakyat.