Kemudian
ditindaklanjuti MPR 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan
terbatas terhadap UUD NRI 1945, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR untuk
menetapkan pedoman pembangunan nasional "model GBHN", yang
dalam Rekomendasi MPR masa jabatan 2014-2019 disebut dengan nomenklatur
Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Amandemen
terbatas hanya berkaitan dengan dua pasal dalam Konstitusi. Antara lain
penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah
dan menetapkan PPHN serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur
kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai
dengan PPHN," terang Bamsoet.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
Ketua
Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini kembali memastikan, hadirnya PPHN tidak
menyebabkan presiden kembali menjadi mandataris MPR yang harus menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada
MPR.
Presiden - Wakil
Presiden tetap menjadi mandataris rakyat, yang dipilih secara langsung oleh
rakyat.
Proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden juga tetap mengacu pada ketentuan yang
diatur dalam Konstitusi, yakni pada Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1).
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
"Amandemen
terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain di luar
PPHN, seperti penambahan periodisasi masa jabatan presiden-wakil presiden.
Mengingat Pasal 37 Konstitusi telah mengatur secara tegas mengenai mekanisme
usul perubahan Konstitusi, yang tidak dapat dilakukan secara mendadak,"
tegas Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Ketua Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan,
proses amandemen terbatas dimulai dengan terlebih dahulu diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul.
Diajukan
secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata
Tertib MPR.