WahanaNews.co | PT PLN (Persero) berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah
usai pemerintah mengeluarkan Fly Ash
dan Bottom Ash (FABA) dari kategori
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
FABA merupakan limbah padat yang
dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap
PLTU, boiler, dan tungku industri
untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Sampai dengan 30 persen dari
biaya pengelolaan (limbah) awal," ujar Vice President Public Relations PLN, Arsyadani Ghana Akmalaputri, kepada wartawan, dikutip Sabtu (12/3/2021).
Kebijakan itu tertuang dalam PP Nomor
22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.
Lewat aturan itu, lanjutnya, limbah
batu bara tersebut bisa dimanfaatkan untuk bahan baku infrastruktur.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Misalnya, produk beton non-konstruksi seperti slab
(pelat) beton, kanstin, pemecah gelombang, beton blok, dan sebagainya.
Selain itu, FABA juga bisa
dimanfaatkan untuk produk semi beton ringan, seperti
batako, paving, sekat pagar, serta
bahan campuran pengeras jalan (road base),
dan lainnya.
Arsyadani menyatakan, semua produk tersebut telah memenuhi persyaratan kualitas produk
atau Standar Nasional Indonesia (SNI).
"Dampaknya, PLN bisa mengoptimalkan penyerapan pemanfaatan, mendorong FABA
digunakan sebagai sumber daya material, dan menekan pengeluaran anggaran,"
terangnya.
Untuk itu, PLN akan berkoordinasi
dengan Kementerian PUPR serta BUMN karya agar FABA bisa dimanfaatkan secara
maksimal setelah dikeluarkan dari limbah beracun.
"Berharapnya manajemen
pengelolaan FABA di lapangan akan semakin mudah dan murah," ucapnya.
Pembangkit listrik milik PLN sendiri
saat ini memang masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan
bakar batu bara.
Berdasarkan data dari bahan paparan
PLN kepada Komisi VII DPR pada November 2020 lalu, disebutkan bahwa porsi PLTU
masih mayoritas, yakni 50,4 persen atau kapasitas
31.827 MW.
Disusul oleh pembangkit Energi Baru
Terbarukan (EBT) sebesar 12,6 persen atau kapasitas 7.992 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 10,7 persen atau
kapasitas 12.137 MW.
Namun, perusahaan setrum itu berencana
meningkatkan porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT), dan sebaliknya
menurunkan pembangkit energi fosil.
Tercatat, pada periode
2000-2019, pertumbuhan pembangkit fosil 6,6 persen. Namun, pada 2020-2029, targetnya bisa diturunkan menjadi hanya 3,6 persen.
Sebaliknya, pengembangan pembangkit
EBT dari 2000-2019 tumbuh 7,1 persen.
Rencana ke depan, jumlah pembangkit
EBT ditargetkan bisa naik 12.7 persen pada 2020-2029. [dhn]