Tito menilai langkah LII mencari investor asing itu diperbolehkan. Hal yang tidak diperbolehkan, kata dia, adalah jika pemilik perusahaan merupakan warga negara asing. Artinya, kata dia, tidak masalah apabila modal yang disuntikan dari luar negeri itu dikelola oleh perusahaan Indonesia
"Selama ini kan banyak yang sudah melakukan seperti itu," ucapnya.
Baca Juga:
Selidiki Kecelakaan Speedboat Maut Cagub Malut, 9 Orang Saksi Diperiksa
Adapun yang perlu dicermati saat ini, menurut Tito, adalah persentase lahan yang digunakan untuk konservasi. Ketentuan itu, kata dia, telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, dia menganggap perlu ada penelaahan kebutuhan daerah, seperti lapangan kerja, pembangunan yang berkelanjutan, dan lainnya.
Dia berharap langkah yang diambil oleh LII tidak melawan hukum yang ada, baik soal kepemilikan permodalan, dan pembangunannya. Di sisi lain, ucap Tito, LII kemungkinan perlu memperpanjang MoU dengan pemerintah daerah.
Kemudian, LII harus meminta persetujuan pemerintah pusat terutama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHk), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perihal konservasi.
Baca Juga:
Rumah Keluarga Eks Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba Digeldah KPK
Adapun pembentukan Satgas ini disampaikan Mahfud setelah resmi mengumumkan pencabutan MoU LII. "Pemerintah akan membatalkan MoU tersebut, karena isi atau prosedurnya tidak sesuai peraturan yang berlaku," kata Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan pelanggaran terjadi karena isi MoU tidak pernah ditepati oleh LII. "Jadi kami batalkan itu," kata dia.
Selain itu, MoU harus dilakukan tanpa izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Sampai hari ini, Trenggono tak pernah mengeluarkan surat izin untuk pemanfaatan Kepulauan Widi. Selain itu, setengah dari objek MoU juga merupakan hutan seluas 1.900 hektare yang sebenarnya tidak diperbolehkan.