WAHANANEWS.CO, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam proses pemulihan pascabencana.
Menurutnya, pendekatan penanggulangan bencana yang berkeadilan tidak hanya menekankan aspek infrastruktur dan logistik, tetapi juga kemanusiaan dan keadilan sosial bagi semua kelompok masyarakat.
Baca Juga:
Menteri PPPA Dorong Sinergi Lintas Sektor Lindungi Anak Pesisir Cilincing
“Sistem penanggulangan bencana yang inklusif harus memastikan perempuan dan anak tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga memiliki ruang untuk berperan aktif dalam proses pemulihan. Bencana bukan hanya ujian bagi infrastruktur tetapi juga bagi rasa kemanusiaan dan keadilan sosial kita,” kata Arifah Fauzi dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).
Arifah menilai, keterlibatan perempuan dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pascabencana sangat penting.
Keterlibatan tersebut dapat memastikan kebutuhan korban terutama kelompok rentan dapat terpenuhi dengan cara yang adil, berkelanjutan, dan berperspektif gender.
Baca Juga:
Kemen PPPA Gandeng 6 Kementerian/Lembaga Deklarasi Gerakan Bersama Ramadan Ramah Anak
“Oleh karena itu, membangun sistem penanggulangan bencana yang inklusif berarti memastikan perempuan dan anak tidak hanya menjadi penerima bantuan saja. Tetapi juga subjek yang berdaya dan berperan aktif dalam pemulihan,” ucap Arifah.
Lebih lanjut, Arifah mengungkapkan bahwa dampak bencana terhadap kelompok rentan sering kali lebih berat.
Salah satu risiko yang meningkat adalah terjadinya kekerasan berbasis gender (KBG).
Ia mencontohkan, di Sulawesi Tengah ditemukan 67 kasus KBG pascagempa dan 70 kasus perkawinan anak pada periode Oktober 2018 hingga Maret 2019.
“Selain itu, terjadi tiga kasus pemerkosaan di pengungsian pascagempa di Padang, 97 kasus KBG pascatsunami di Aceh dan 313 kasus selama pandemi Covid-19. Lalu pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi dalam waktu satu minggu setelah gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat,” ucap Arifah menjelaskan.
Melihat fakta tersebut, Arifah menegaskan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana.
Ia mengibaratkan kerentanan perempuan dan anak terhadap kekerasan seperti fenomena gunung es di mana hanya sebagian kecil kasus yang terlihat di permukaan, sementara jumlah sebenarnya jauh lebih besar.
“Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, Kemen PPPA dimandatkan dalam tiga tugas perlindungan anak dalam situasi darurat bencana. Yakni pencegahan agar anak tidak menjadi korban tindak pidana atau sebagai akibat dari situasi darurat, pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus anak yang terkoordinasi dengan Kementerian Sosial dan pendampingan secara terkoordinasi dengan pihak lain,” kata Arifah menutup.
Sementara itu, Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menambahkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia.
Kondisi geografis dan geologis Indonesia yang berada di kawasan cincin api membuat berbagai jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan kerap terjadi setiap tahun.
“Dampak dari bencana tidak hanya terbatas pada kerugian material, seperti kerusakan bangunan dan fasilitas umum, tetapi juga mencakup kerugian nonmaterial. Seperti hilangnya nyawa manusia, trauma psikologis, dan terganggunya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat,” ucap Cucun.
Cucun juga menilai kolaborasi lintas kementerian, lembaga, dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam memperkuat ketahanan nasional menghadapi bencana.
Menurutnya, pendekatan yang inklusif dan berbasis komunitas perlu terus diperkuat agar proses pemulihan benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan dan anak.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]