WahanaNews.co | Anggota Komisi IV DPR RI Slamet merespons penetapan pemerintah dalam menaikkan pajak PPN menjadi 11% pada tanggal 1 April 2022. Pasalnya, hal itu berimbas langsung pada sektor pertanian.
Slamet menyebut, ada kenaikan harga pupuk yang berdampak signifikan terhadap salah satu faktor produksi yang sangat krusial. Ia mengatakan, kenaikan tersebut dapat memengaruhi prdoduksi petani dalam melaksanakan aktivitas bercocok-tanam.
Baca Juga:
Mendagri Apresiasi Perjuangan Mentan Amran Tambah Alokasi Pupuk
"Tentunya dampak kenaikan PPN ini sangat dirasakan petani secara nasional. Kami menyangsikan keberpihakan pemerintah kepada petani yang telah bersusah payah mendukung ketahanan pangan nasional, tetapi mereka tetap diperas dengan kebijakan ini," ujar Slamet di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022).
Bukan hanya itu, menurut Slamet, dalam kejadian ini, pihaknya melihat ketidakberpihakan pemerintah kepada para petani sehingga pemerintah tega memeras petani melalui kenaikan PPN ini.
"Dapat dilihat ya, atau ditinjau di mana seharusnya pemerintah mempunyai nurani kepada para petani. Mungkin saya bukan petani, tetapi yang petani justru harus diberikan keringanan pajaknya," ucapnya.
Baca Juga:
Masuk Daftar 500 Perusahaan Terbaik, Pupuk Indonesia Berjaya di Kancah ASEAN
Ia mengaku heran dengan kebijakan pungutan PPN 11% terhadap pupuk yang merupakan salah satu penunjang utama kegiatan pertanian. Di satu sisi petani diminta untuk meningkatkan produksinya, tetapi di sisi lain petani juga ditekan dengan pungutan pajak tersebut.
Perlu diketahui, kata Slamet, pupuk diketahui merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi petani dalam meningkatkan produktivitas tanaman pertanian. Perannya sekitar 20 hingga 40% dalam menyumbang tingkat kesuburan tanah bagi industri pertanian Tanah Air. "Justru, ya oleh karena itu, saya meminta atau usulkan kepada pemerintah harus memberikan kebijakan khusus terkait aturan pungutan PPN pada pupuk atau jika perlu dibatalkan," tegasnya.
Slamet mengatakan sejak awal soal pengelolaan tata kelola pangan sudah sering ditanyakan dan dirundingkan, tetapi masih saja lemah.